🌿 18 🌿

3K 467 109
                                    

Hi! Here's the update. Sorry for: late, typos, and grammatical error. I hope you enjoy it! <3

.

.

.

Keesokan pagi, Donghyuck terbangun dengan tubuh hangat. Rasa pening masih melekat, pengaruh gelombang heat tak terduga yang menyerang malam sebelumnya. Ketika ia mencoba bangkit, seluruh tungkainya lemas bagai kehilangan rangka. Donghyuck bahkan membutuhkan usaha ekstra hanya untuk duduk menyandari kepala ranjang, dan meraih segelas air di meja nakas dengan tangan bergetar demi menyudahi kekeringan di tenggorokan. Setelahnya, ia menarik napas panjang.

Dengan sisa-sisa demam, Donghyuck berusaha merunut apa saja yang terjadi sepanjang hari kemarin. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana ia terbangun di atas tubuh Minhyung yang terbakar demam, mengingat menggotong pria itu ke kamar, dan meninggalkannya untuk mencari sarapan serta obat penurun panas. Namun, setelah itu semua, yang melintas hanyalah gambaran samar-samar. Donghyuck ingat telah menangis, berkali-kali. Ia tidak butuh kejelian pikiran untuk menyadari itu. Rasa sakit dan perih di matanya yang bengkak sudah cukup jadi bukti. Ia juga ingat tentang aroma Alpha yang mendominasi kamar apartemen, juga Jeno yang mengantarnya pulang ke rumah sang ibu. Namun, hanya itu. Ia tidak begitu mengingat banyak detail, hanya garis-garis kasar kejadian besar.

Donghyuck mengerang ketika denyut di kepala berubah menjadi semakin menyakitkan. Kedua pangkal telapak tangannya menekan mata, berusaha mengenyahkan rasa sakit berkedut itu. Ia ingin kembali membaringkan badan dan bersembunyi ke balik selimut, membiarkan sisa-sisa demam menggulungnya hingga ia mampu bangun dalam keadaan baik luar biasa. Namun, Donghyuck tidak bisa tidak memikirkan Minhyung. Bagaimana kondisi pria itu hari ini? Sudahkan ia lebih baik, atau malah semakin buruk?

Donghyuck menyadari ponsel yang tergeletak di meja nakas. Hanya dengan uluran tangan pendek, ia akan berhasil meraih benda tersebut, tetapi bahkan untuk satu gerakan itu saja Donghyuck tidak sanggup. Ia berakhir menempelkan kepala ke tembok dan memejamkan mata, pun kembali menarik napas dalam hanya demi mendapati aroma lembap seks di udara. Donghyuck mengingatkan diri untuk membersihkan kamar ini begitu demamnya sembuh. Untuk sekarang, setidaknya ia harus membersihkan diri, terutama bagian di antara kedua pahanya yang terasa lengket dan kotor.

Dengan kaki yang masih gemetar, Donghyuck berusaha bangkit, berpegang pada apa pun yang berada dalam jangkauan hanya untuk menjaganya tetap berdiri. Sebisa mungkin ia meninggalkan ranjang, meraih lemari dan mengambil pakaian bersih, sebelum akhirnya bergerak menuju kamar mandi di dekat dapur.

Usaha tersulit adalah menuruni tangga. Donghyuck tidak mendapati kehadiran sang ibu di mana-mana. Rumah pun masih redup, dengan segala tirai dan pintu yang masih tertutup, memblokir cahaya. Sebelah tangan Donghyuck berpegang erat pada pegangan tangga, sedang sebelahnya lagi memeluk pakaian bersih di dada. Langkahnya tersusun satu-satu, pelan, hati-hati, dan tanpa suara. Ketika ia mencapai bibir dapur, suara yang mendadak terdengar membuat tubuhnya tersentak. Sebuah isak tangis. Jelas suara ibunya.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terlalu malu menampilkan muka," ujar suara itu.

Donghyuck bergerak mendekat, berusaha meredam aromanya yang masih lengket untuk tidak begitu menginvasi udara. Ia meraih pintu dapur, mendapati sang ibu berdiri di balik meja pantri dengan posisi membelakangi pintu. Sebelah tangan wanita itu memegang ponsel di telinga, sedang bahu sempitnya bergerak naik turun setiap kali isakan lolos dari mulutnya. Donghyuck sama sekali tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan dengan menguping, tetapi apa yang menjadi topik bahasan sang ibu dengan siapa pun sosok di seberang telepon terlalu menarik untuk diabaikan. Wanita itu sedang membicarakannya.

[✓] Metanoia [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang