🌿 25 🌿

2.4K 369 203
                                    

Persalinan bab ini dibantu oleh yourdayssi dan Kiangel__. Thank you so much, you guys! ❤️✌️

.

.

.

Alarm berbunyi dan Minhyung bergelung malas di atas ranjang hotel yang dingin. Pagi masih buta, tetapi ia harus segera bangun dan bersiap untuk keberangkatan kembali menuju London. Dengan tungkai berat, Minhyung memaksa diri menyusun langkah gontai ke kamar mandi.

Usai menyegarkan diri, Minhyung memastikan ia siap pergi tanpa ada sesuatu yang tertinggal. Langit masih berupa lapisan pudar berwarna biru tanpa mentari ketika pelayan mengetuk pintu kamarnya, membawakan segelas kopi dan sepiring roti panggang sebagai sarapan. Jadwal yang cukup pagi untuk pengantaran makanan, tetapi Minhyung memang membutuhkannya pagi-pagi sekali. Pukul tujuh kemudian, ketika matahari perlahan menjalarkan sulur-sulur cahaya, Minhyung bergegas menuju bandara.

Seiring roda-roda mobil yang mulai menggagas jalan, rasa sesal perlahan merambati dada pria itu. Ia menatap ponsel yang sepi. Ruang di bawah petak waktu yang menampilkan angka jam tampak kosong tanpa notifikasi pesan. Donghyuck kemungkinan belum bangun dan Minhyung tidak ingin mengganggu dengan menghubunginya pagi-pagi sekali. Donghyuck berhak mendapat istirahat yang cukup sejak dua hari kemarin adalah hari yang cukup berat baginya. Terlebih, lelaki itu juga masih harus masuk kerja. Minhyung tidak ingin egois dengan memintanya hadir demi melepas kepergiannya dari Seoul.

Pada akhirnya, Minhyung memutuskan untuk mengirim sebuah pesan singkat, memuat salam perpisahan serta janji bahwa ia akan segera kembali. Tunggu aku, Donghyuck. Tunggu aku, batinnya meratap.

Begitu taksi yang ditumpangi berhenti di muka gedung bandara, Minhyung bergegas turun sambil memikul ransel yang memuat seluruh barangnya. Langkah lebarnya langsung tersusun ke arah gedung terminal. Tepat sebelum ia melakukan check in, sosok kecil dalam balutan kardigan cokelat sederhana dan celana jin tipis tampak duduk memeluk diri di sebuah bangku tunggu yang lengang. Tanpa ragu, Minhyung mengenalinya sebagai Donghyuck, sebagaimana ia mengenali detak jantung yang memompa di balik dadanya. Kefamilieran yang sama.

"Donghyuck?"

Bahu sosok kecil itu tampak sedikit tersentak, sebelum kepalanya tertoleh kilat, menyambut wajah berseri Minhyung dengan mata sayu dan raut kelelahan.

"Minhyung." Ia bangkit dari kursi, masih dengan kedua tangan yang memeluk diri sendiri.

Kecerahan di wajah Minhyung tergantikan oleh gelombang pasang banjir bandang; keruh yang menggetarkan. Kedua alisnya membentuk tautan ombak dalam, dengan manik hitam yang bersinar dalam kecemasan. Kedua tangan Minhyung lantas bergerak meraih bahu sempit Donghyuck, menarik lelaki itu semakin dekat, memperhatikannya dengan lebih saksama.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya. "Kenapa kau di sini pagi-pagi sekali? Apa kau bahkan sempat tidur? Ada sesuatu yang terjadi?"

Tanpa Minhyung duga, Donghyuck menetaskan kekeh renyah. Sebelah tangan lelaki itu terangkat, membelai pipinya. Telapak tangan Donghyuck terasa sangat dingin.

"Pelan-pelan." Lelaki itu berujar. "Aku baik-baik saja."

Meski Donghyuck tersenyum, Minhyung masih belum bisa melepas cemas dari dirinya. Donghyuck yang tampak sekacau ini bukan pertanda baik.

"Mari kita duduk." Ia lantas menuntunnya menempati kursi tunggu yang terasa dingin akibat belum banyak yang menjamah. Minhyung kembali menatap Donghyuck, menggenggam kedua tangannya yang terasa dingin luar biasa. "Sejak kapan kau di sini?"

[✓] Metanoia [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang