🌿 5 🌿

4.7K 785 106
                                    

Playlist: Ghosts - BANNERS

.

.

.

Donghyuck baru melepas pandang dari arloji ketika bugatti Henry muncul dan menepi di depannya. Pria itu muncul dari balik bangku kemudi, melangkah anggun dalam balutan setelan jas abu-abu dan kacamata kotak berbingkai cokelat kayu. Ia tersenyum pada Donghyuck sambil membenahi sisi jas.

"Menunggu lama?"

Donghyuck punya dua jawaban untuk itu, jujur dan bohong. Jujurnya, ya, ia menunggu lama di depan lobi kantor. Cukup lama untuk membuat kakinya pegal berdiri dan ujung pantofelnya mengetuk-ngetuk lantai tak sabar. Belum termasuk mulut dan batinnya yang terus mendumal, dengan kedua ujung alis bertaut dan mata yang terus-terusan melirik arloji. Sedangkan jawaban bohongnya:

"Tidak juga." Donghyuck tersenyum. "Sebaiknya kita berangkat sekarang karena menurut kata Anda kemarin, Bos, acaranya dimulai pukul 4 sore, dan sekarang kita sudah terlambat dua puluh menit."

"Oh, ayolah!" Henry mendengus, melambaikan tangan di depan wajah dengan remeh. "Sepupuku tidak akan keberatan meski kita terlambat satu jam."

Donghyuck merotasi kedua mata tanpa sepengetahuan Henry, pun mengikuti langkah pria itu menuju mobil. Ia membiarkan Henry membukakan pintu baginya, memperlakukannya bak putri rajaㅡtindakan yang Henry tahu tidak Donghyuck suka. Donghyuck hanya tidak mau memberi kepuasan bagi Henry dengan mengeluh. Mereka pun duduk di kursi masing-masing dengan tenang, dan melajulah bugatti itu ke tempat exhibition dilaksanakan.

Begitu tiba, Donghyuck mendapati gedung sudah dipadati sejumlah pengunjung, kebanyakan dari mereka adalah wartawan, dan kepadatan nomor dua diinisiasi oleh orang-orang berpakaian rapi nan necis; pria-pria gemuk berjas, serta wanita-wanita bertas tangan bagus dengan gaun modern. Donghyuck menyadarinya sebagai para kolektor. Entah berapa kocek yang mereka siapkan di dalam tas tangan dan di balik kemeja mereka untuk meminang berbingkai-bingkai foto yang terpajang.

Donghyuck lantas menunduk, menilai penampilan diri; sepatu pantofel, celana kain hitam, sweter moka berkerah, dan kemeja cokelat bersaku. Yah, ia tidak berpakaian sangat mewah, tetapi setidaknya bisa berbaur. Henry berdiri menjulang di sampingnya, berpakaian tak kalah mewah dari para kolektor. Siapa tahu bahwa tujuan pria itu kemariㅡselain menunjukkan formalitas kepada sepupuㅡjuga untuk meminang sesuatu?

"Dia sangat luar biasa, sepupuku itu," ujar Henry. Donghyuck mengangguk saja, diam-diam menyetujui setelah melirik beberapa foto satwa liar yang terpajang di setiap sisi dinding. Ia sebenarnya tidak kuat dengan keramaian, tetapi foto-foto ini seolah membuat waktunya terbuang pantas.

Donghyuck melangkah mendekati salah satu bingkai tepat ketika seseorang menyerukan nama Henry. Ia memperhatikan foto yang menampilkan seekor burung bersayap merah membentang, dengan rumbai ekor putih berpangkal kuning berdiri di ujung sebuah dahan sambil moncongnya terbukaㅡberkoak. Burung itu melambangkan keindahan, keanggunan, sekaligus kebebasan. Donghyuck melirik keterangan di bawah foto: 'CendrawasihㅡBird of Paradise. Sawinggrai Village, West Papua, Indonesia.' Dan di sudut foto, terdapat sebuah nama; Mark.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Donghyuck terkejut mendengar suara tiba-tiba tepat di dekatnya. Ketika menoleh, ia mendapati wajah seorang pria yang tersenyum padanya. Donghyuck semula berkedip canggung, lalu melirik sekitar untuk menemukan Henry, tetapi pria itu tidak di mana pun dalam jarak pandangnya. Pasti Henry tertelan dalam kerumunan tanpa Donghyuck sempat benar-benar sadar. Kini, ia hanya sendiri di tempat itu, menghadapi seorang pria asing.

[✓] Metanoia [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang