Hai! Terima kasih sudah setia menunggu kelanjutan cerita ini di tengah-tengah masa hiatusku. Semoga kalian nggak bosan nunggu dan setia mengikuti ceritanya hingga akhir, ya. Selamat membaca! (Vote dan komen adalah bentuk apresiasi. Jadi, jangan lupa, ya!)
.
.
.
Playlist: Wait-M83, Dandelions-Ruth B.
.
.
.
Sepanjang malam itu, Donghyuck merasa gelisah. Tubuhnya gatal akibat sesuatu yang tak ia pahami. Ia jadi lebih banyak melamun. Kegiatan lembur seakan berlangsung sia-sia. Seiring waktu yang berlalu, tidak ada pekerjaannya yang melangkah maju. Tubuh Donghyuck stagnan, hanya pikirannya yang terus berjalan. Tak tenang. Pada akhirnya, ia lelah mengingatkan diri sendiri untuk melakukan lebih banyak pekerjaan malam itu. Dengan hati dongkol, Donghyuck meninggalkan kantor pada pukul delapan malam.
Donghyuck pikir, kondisi ini berarti bahwa tubuhnya memberi sinyal. Ia kelelahan. Pekerjaan yang terus ia ambil, lebih banyak dari yang sanggup ia atasi, pada akhirnya memberi jalan bagi alam bawah sadar untuk memberi tamparan yang sanggup membuatnya berhenti melakukan apa pun. Sehingga, Donghyuck menganggap bahwa berendam air hangat dan makan makanan lezat akan membantunya merasa relaks.
Berendam air hangat dan makan ramen instan memang membuat Donghyuck relaks, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Kantuk yang semula ia rasakan lantas menguap. Rasa cemas kembali mengisi raganya.
Donghyuck mengembuskan napas lelah, terlampau bosan berguling ke kanan dan ke kiri dalam balutan selimut hangat di ruang kamar yang gelap. Ia tidak bisa tidur sama sekali dan kegelisahan di hatinya tidak memberi ruang, atau petunjuk, tentang apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi ini. Donghyuck berakhir beranjak dari ranjang. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan menuju balkon, membuka pintu dan membiarkan suara kota yang semula teredam membasahi telinganya, menarik tubuhnya ke tengah udara terbuka.
Langit tampak cerah malam itu. Titik bulan bersinar dalam warna biru keperakan, enggan mengalah pada gemerlap kota. Donghyuck menyampirkan kedua lengan di atas langkan, mengabaikan rasa dingin permukaannya. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, dilakukan beberapa kali, sebelum akhirnya membiarkan diri menikmati gemerlap kota dan suara ramai yang enggan terbungkam. Udara malam membuatnya sedikit tenang, tetapi kecemasan tidak lantas hilang.
Pada hamparan denyar yang masih memilih hidup, Donghyuck menyampaikan keluh kesah tanpa suara, hanya embusan napas yang dikeluarkan dengan berat. Apa yang terjadi padaku? Ia seolah bertanya. Apa yang kucemaskan? Apa yang kutakutkan? Bahkan kota sebesar Seoul pun tidak bisa menjawabnya. Donghyuck praktis merasa hampa.
Kepalanya kembali tertoleh ke dalam kamar. Melewati pintu kaca balkon yang terbuka, Donghyuck mampu melihat ranjangnya yang berantakan, tempat nyaman yang anehnya tidak sanggup memberi ketenangan malam itu. Matanya menyisir segala sesuatu dalam keremangan, pada lemari berpintu ganda, meja rias, cermin tinggi, hingga akhirnya berhenti pada sebuah gulungan yang menyandar di salah satu sudut kamar.
Donghyuck sejenak tertegun, sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki kamar. Kali ini, ia tak lupa menyalakan lampu, membiarkan cahaya putih membanjiri ruangan itu.
Perhatian Donghyuck kini tersita pada gulungan yang masih berdiri dan tidak menemukan tempat pasti di kediaman itu. Ia perlahan mendekat, menyentuhkan tangan pada permukaan kertasnya yang bertekstur kisi mungil. Donghyuck kemudian meraih dan membaringkannya ke lantai, lalu membuka gulungan untuk menguak potret rusa emas jantan di tengah hutan. Cahaya mentari yang menempus kanopi pepohonan tampil sebagai lampu sorot, dengan si rusa sebagai tokoh utama. Di sudut bawah potret tersebut, sebuah tanda tangan terpatri penuh percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Metanoia [Bahasa]
Fanfiction[SUDAH TERBIT] Lee Donghyuck tidak mengenal cinta. Konsep itu sudah tidak lagi relevan dalam hidup sejak ia melihat kehancuran keluarganya. Sebagai seorang Omega laki-laki, yang menjadi tujuan hanyalah bagaimana cara supaya bisa hidup sejahtera tanp...