empat

152 60 4
                                    

Alara turun dari Kawasaki Renniel, setelah beberapa saat lalu terpaksa membonceng dikarenakan Danniel masih sibuk mengurus laporan - laporan Osis di sekolah. Danniel itu tanggung jawabnya besar, maka mau tak mau Alara harus memaklumi.

Sejenak, Ia menatap kakaknya.

Ren balas menatap malas, "apa lo liat-liat?"

"Gak."

Aslinya sih, hendak berterimakasih. Namun raut mengesalkan Ren membuat Alara spontan mengurungkan niat. Alara melangkah memasuki rumah mewah bercorak abu muda dominan putih.

"Ma..ma?"

Maureen, wanita berusia empat puluhan itu tersenyum manis, duduk di ruang tamu dengan seorang pria tampan.

Dia pulang, lagi - lagi membawa pria yang berbeda..

Alara mengecup punggung tangan sang mama, Ren melakukan hal yang sama. Lalu melangkah pergi begitu saja.

Lain dengan Alara, badan mungilnya dipeluk mama penuh kasih sayang. Satu - satunya anak perempuan yang di manja itu merasakan kecupan hangat pada dahinya.

"Ini kenalan mama, sayang. Kamu bisa manggil om."

Alara hanya tersenyum mengangguk sopan.

"Bentar lagi kamu bisa panggil papa," ucap pria itu kemudian terkekeh menatap Maureen.

Alara merasa tidak enak, Ia pamit berganti pakaian.

Terkadang Alara belum siap papanya digantikan, namun mengingat beberapa tahun yang lalu Valdeviesso alias papa yang ia sayangi dan banggakan di depan banyak orang menikahi perempuan lagi di Bali, lalu pergi tanpa peduli perasaan keluarganya sendiri itu membuat dirinya muak. Ingatan yang masih saja terlintas.

Malam itu Alara terbangun, ia mendengar kedua orang tuanya beradu mulut. Riuh sekali di ruang keluarga. Maureen sesekali menampar suaminya, yang ditampar tidak main fisik melainkan balas membentak.

"Alara.." Valdeviesso menyadari keberadaan putrinya.

Maureen ikut menoleh.

Alara takut sekali, ia gemetaran. Usianya masih enam tahun waktu itu. Sudah mendapati pemandangan yang tidak layak ia saksikan.

"Sayang.." Valdeviesso hendak meraih putrinya, hendak memeluknya. Namun dengan cepat Danniel mencegah.

Ren memeluk sang mama. Sorot matanya jijik menatap Valdeviesso.

"Papa gak sedikitpun ngerti perasaan mama," ucap Danniel datar. Alara berdiri di belakangnya.

Alara yang tidak mengerti siapa yang salah saat itu hanya bungkam. Setelah bercerai pun Alara tetap memilih tinggal bersama papa kebanggaanya.

Alara.. sangat menyayangi papa.

Hingga sepuluh tahun silam, Valdeviesso menyembunyikan kesalahannya pada Alara yang polos dan lugu.

Usia tujuh belas tahun. Semuanya terungkap, kini Alara mengerti, bukan lagi seorang anak kecil yang memihak papa tanpa tahu yang salah.

Alara pindah sekolah, pergi meninggalkan Bali, pergi meninggalkan papa. Bukan.

Valdeviesso tak layak menjadi papa kebanggaannya lagi.

"Brengseknya papa menikah gara - gara tanggung jawab atas janin yang ada di perut pelakor," gumam Alara tersenyum sendu. Tentu saja ia kecewa.

Ini sebabnya ia tak pernah menyalahkan sang mama walaupun berganti laki-laki setiap pulang ke rumah. Lagi pula Maureen tulus menyayanginya. Kesalahan apapun Alara terima dari sang mama, ia tau. Mamanya hanya tersakiti, dia melampiaskan pada banyak lelaki.

R I V E R [ END ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang