tiga puluh satu | last

82 27 5
                                    

"Alara percaya sama papa?"

"Buat apa percaya! papa sama aja udah ninggalin mama!"

"Alara..."

"Papa, Alara mau ikut mama aja. Alara muak."

Alara Maureen Valdeviesso. Nama itu.. Valdeviesso sendiri yang membuatnya. Dengan harapan Alara tumbuh menjadi gadis periang, dengan beribu kebahagiaan. Valdeviesso.. sangat menyayanginya.

Valdeviesso jadi teringat, Alara kecil yang memegang jari telunjuk nya untuk pertama kali.

Valdeviesso jadi teringat, bagaimana gadis kecilnya merangkak pertama kali, berada dalam pelukannya.

Valdeviesso jadi teringat, bagaimana gadis kecilnya memanggil sebutan 'papa' .. setiap kali.

Pria itu ingin mengembalikan waktu, mengembalikan sesuatu yang tak dapat lagi ia miliki walau hanya sekali. Pria itu ingin mempertaruhkan segalanya, walaupun nyawa.

Hingga kini, bahkan si pria siap mempertaruhkannya. Ingin sekali.. membuat putrinya bahagia.

Karyuel mendorong Valdeviesso kedalam ruangan kecil, menguncinya lalu pergi begitu saja. Karyuel menyelamatkan diri dari kobaran api yang sudah semakin besar. Meninggalkan Valdeviesso di dalam ruangan pribadi yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari.

Alara menjerit, ia datang terlambat. Alara memanggil sang papa, gadis itu berjinjit. Dari jendela kecil Alara dapat melihatnya babak belur, wajah Valdeviesso pucat pasi, kemeja biru muda itu penuh bercak darah.

Alara memecahkan jendela kecil dengan siku kanannya, jendela itu kini menjadi satu - satunya jalan komunikasi.

"Papa! papa! papa.. harus keluar! apinya makin besar! papa!"

Valdeviesso tergugu sesaat, menatap putrinya sendu. Suringan hangat terukir begitu saja, tangan kanan Valdeviesso memasuki lubang jendela yang baru saja Alara pecahkan, tangan besar itu menangkup pipi Alara. Mengusapnya perlahan, menghapus setetes air mata pada pipi gadis kecilnya.

Alara berusaha membuka pintu, namun nihil hasilnya. Alara membutuhkan sidik jari Karyuel.

"Alara pergi dulu, Alara bawa Karyuel kesini, pa!"

"Jangan!"

Tiada gunanya, bahkan api sudah membara. Karyuel mungkin kini sudah berada di bawah sana. Alara menggigit bawah bibirnya, menahan getaran pada tubuhnya, Alara takut, Alara bingung. Apa yang harus ia lakukan?

"Alara!"

"River!  River, bantu gue keluarin papa!"

River spontan mendekat,  mendobrak pintu sekuat tenaga, berkali - kali. Namun tiada gunanya, atap gedung mulai berjatuhan. Kini River melindungi Alara dengan tubuhnya, River jelas tahu.. Alara gemetar hebat.

"Jangan tolong papa! pergi! gedungnya bentar lagi hancur, Alara!"

"GAK! PAPA HARUS PULANG!".

"Helikopter bawahan papa ada di atap-"

"ALARA MAU SAMA PAPA!"

Alara menendang pintu keras - keras, mengapa pintu dihadapannya sulit sekali dibuka?!

Alara terbatuk, asap dari kobaran api mulai menyengat indera penciuman. Gadis itu tidak peduli, ia terus berusaha.

"Alara, sekali aja.. dengerin papa!"

Ruangan pengap itu semakin membuat Valdeviesso kehabisan napas. Alara bungkam, menatap manik sayu sang papa yang menyedihkan.

"Dari kamu lahir.. kamu selalu menjadi kebahagiaan papa."

R I V E R [ END ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang