lima

80 60 4
                                    

Matahari nampak menaikkan posisi, terlihat dari sinarnya yang semakin lama semakin menyinari seisi lapangan hingga tak tersisa.

Panas sekali.

Membuat sekujur tubuh Alara kian melemas. Namun gadis itu tetap berdiri tegak, berbaris sembari mendengarkan sambutan ber tele - tele dari sang kepala sekolah.

Suara kepala sekolah menggema. Setiap kata yang beliau ucapkan melalui microphone seakan menggema tepat di telinga Alara.

Pada waktu yang bersamaan, di lain tempat. Renniel menepuk bahu River, "Tumben lo ga sengaja telat, Ri."

"Hm. Pengen ketemu adek lo,  bang." River menjawab santai. Membuat Renniel terkekeh.

"Se-naksir itu sama Alara? Pacar lo gimana nasibnya?" Zack yang duduk di samping Ren menghisap kembali batang rokoknya.

"Udah gue putusin dong."

"Ahahaaha, Anjir. Ngomongnya tanpa beban banget cuy!" Zack kini terbahak.

Ketiga orang ini terus saja berbincang. Sedangkan lainnya sibuk dengan handphone tentunya. Kecuali Gibran yang tertidur nyenyak di sofa cafe tongkrongan dan Danniel yang mengikuti upacara di lapangan.

Ketua osis, bro. Masa iya bolos.

Kalau Gibran ngantuk banget katanya, semalem abis ngerangkai bunga bangke buat tugas seni.

"Tapi jujur, Alara susah banget dideketin," ucap River sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Dia.. beda sama cewek - cewek yang gue gebet sebelumnya."

Renniel berdehem, "cebol jual mahal.." gumamnya.

"Lo-" Virgi menghentikan ucapannya, berpikir sejanak. Memilah kata agar tak membuat si ketua squad naik pitam. "..apa lo sebenci itu sama Alara?"

Renniel bungkam.

"Hm. tiap lo ngomongin Alara kayak bukan ngomongin adek lo sendiri," timpal Arka yang kemudian ikut fokus mabar bersama Joe, Sean dan Putra.

Renniel berpikir sejenak.

"Bener, sikap lo ke Alara dibandingin ke El beda banget, bro!" Zack menatap heran, "ada dendam pribadi kesumat kah?"

Kini Ren mengangguk mantap.

"Iya kayaknya."

Jelas sekali ia menjawab tidak serius. Terlihat dari raut wajahnya yang menahan tawa.

Dendam kesumat katanya..

"Pffftt! HAHAHAHA DENDAM KESUMAT" Ren terbahak sendiri. Entah apa yang lucu, tujuh teman sekaligus anggota squad  nya dibuat bergidik ngeri. Takut Renniel marah karena sudah menyanyakan hal yang mungkin tidak perlu ditanyakan.

Begitu tawanya reda. Ren menatap serius. Sorot matanya tajam, membuat tak berani ada yang berbicara.

"Alara itu lemah. Gue gak mau sekalipun sakitin hati ataupun fisiknya," Manik hitam berlapis soflen biru muda itu nampak sayu. "Menurut gue..."

"Satu - satu nya jalan biar dia gak gampang sakit hati.. Gue kebiasaan ganggu dia, bikin dia kesel, bikin dia marah. Gue lontarin kata  -kata kasar, seolah gue jijik, gue gak peduli kalaupun Alara cap gue sebagai kakak terburuknya."

Ren menghela napas sejenak, "Jadinya dia terbiasa.. Sama gue yang terus - terusan sengaja bikin Alara kesel."

"Karena itu emang rencana gue."

"Jadi semua itu pura-pura?" River menyela. Padahal lainnya tak ada yang berani berbicara begitu tahu Renniel serius.

"Hm'm. Gue lebih mending bikin Alara marah - marah daripada bikin Alara nangis," Renniel menatap River sejenak, "Sekalinya dia nangis, sekalinya dia hancur. Penyakitnya bisa kambuh saat itu juga. Jadi,  kalo salah satu dari kalian berani nyakitin hati adek gue.."

R I V E R [ END ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang