BAGIAN 61 [ Manusia Biasa ]

968 126 216
                                    

Tidak ada yang pernah tahu, sebanyak apa air mata di balik senyuman seseorang.

Lamada Glarisia

°°°°°

Hari ini Davin terlihat begitu lelah. Tenaga serta pikirannya terasa sudah terkuras habis untuk menjalani serangkaian kegiatan dan kesibukannya di sekolah. Mengingat ini tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Atas, banyak yang sudah Davin lewati untuk itu, dan masih banyak lagi yang harus ia persiapkan dan ia lakukan sebelum kelulusan.

Kedua kaki yang serasa sudah tidak bertenaga itu, mulai menaiki tangga mansion keluarganya. Matanya menatap setiap anak tangga yang ia pijak, dan seperti biasa, kedua tanggannya tetap tersembunyi di balik saku celana sekolah.

Menjelang anak tangga terakhir, wajahnya mendongak dan tanpa sengaja ia melihat kakaknya yang hendak turun ke lantai bawah. Tatapan mereka berdua beradu dengan langkah yang mulai memelan.

"Bersih-bersih dulu, habis itu ikut makan malem!"

Davin belum sempat menjawab ucapan Vani, tapi perempuan itu sudah lebih dulu berjalan melewatinya. Hal ini membuat Davin menghela napas panjang. Lalu, ia membalikan badannya menatap punggung Vani yang menjauh dari pandangannya.

Tidak ingin memikirkan sikap kakaknya, Davin kembali melanjutkan langkah menuju arah kamarnya. Ia tahu jika kakaknya itu masih marah kepadanya karena kejadian waktu itu. Di keluarganya memang tidak ada lagi yang membahas hubungan ia dengan Erine maupun dengan Mada, namun Vani masih bersikap dingin kepadanya seperti tadi. Perempuan itu hanya mau mengatakan hal penting saja kepada Davin.

Davin masih bisa memaklumi sikap Vani kepadanya, karena ia juga sadar jika ia bersalah. Apalagi mengingat betapa dekatnya Vani dengan Erine yang melebihi dekatnya ia dengan kakaknya itu. Dan Davin tahu betul jika Vani sudah menganggap Erine seperti adiknya.

Davin membuka knop pintu kamar menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sedang membetulkan letak tasnya yang hampir saja jatuh dari pundaknya.

Davin sudah berada didalam kamarnya. Untuk beberapa saat ia terdiam di dekat tempat tidur dengan kedua bola matanya yang menatap kesekeliling kamar.

Kamarnya masih terlihat sama dengan sebelumnya, bahkan bentuk wajah Erine yang terbentuk dari puluhan rubik itu masih tersusun rapi di meja luas itu. Davin tidak pernah merusaknya apalagi membuangnya. Rubik-rubik itu masih disana seperti pertama kali ia membuatnya. Selain rubik, foto-foto Erine dengan dirinya juga masih terpajang di dinding kamar Davin. Disalah satu balas, bahkan masih ada satu bingkai foto Erine yang sedang tersenyum. Semua belum berubah. Davin tidak melepaskan itu semua dari tempatnya sekedar untuk ia simpan atau bahkan ia buang.

"Argh."

Davin mengerang kesal sendiri. Ia melempar tasnya cukup jauh sampai tasnya mendarat persis di sofa kamarnya.

Davin membalikan badannya. Dan dalam satu detik setelahnya, Davin menghempaskan tubuhnya diatas kasur. Lengan kirinya ia gunakan sebagai penutup mata disaat kepalanya tiba-tiba terasa pening.

"Gue harus gimana?" Davin bergumam lirih. Tiba-tiba pikirannya semakin di penuhi oleh Erine. Davin tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri, dan ini benar-benar menyiksanya.

Dengan perlahan, Davin menurunkan lengannya. Ia merogoh saku celananya dan mendapati ponsel yang sejak tadi tidak pernah ia buka. Benar saja, ia ternyata sudah mendapat banyak pesan dari beberapa orang. Dan tatapannya terfokus pada satu nomor yang sudah mengirim banyak pesan bahkan panggilan tak terjawab.

DAVINNO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang