BAGIAN 08 [ Senyum Penutup Luka ]

8.1K 359 3
                                    

Langit sudah menggelap, melenyapkan matahari ke peraduannya yang tergantikan dengan bulan sabit serta bintang-bintang yang mengelilinginya.

Di waktu yang sudah menjelang malam ini, kaki Davin melangkah masuk kedalam mansion keluarga kecilnya dengan langkah santai, dan meninggalkan supir yang masih berdiri didekat mobil. Hari ini Davin memang diantar jemput oleh sopir, mengingat keadaan tangannya yang belum sepenuhnya sembuh.

"Baru pulang, lo? Mampir kemana aja?"

Davin menatap kesumber suara yang berasal dari ruang keluarga. Disana ternyata ada seorang lelaki yang tengah duduk disalah satu sofa sambil menatap kearahnya.

Ini akibatnya kalau jalan hanya menatap kedepan saja, jadinya tidak tahu apa yang ada di kanan kirinya, seperti Davin contohnya.

Niat awal ingin segera masuk kedalam kamarnya, sekarang Davin urungkan. Dia lebih memilih menghampiri lelaki itu yang sebenarnya sepupunya sendiri. "Kapan kesini?" Tanya Davin sambil menghempaskan tubuhnya disamping lelaki itu.

"Kebiasaan banget, ya, ditanya tapi tanya balik?"

Davin memutar kedua bola matanya malas mendengarnya. "Dari rumah temen." Jawab Davin dengan jujur, karena dia memang baru saja pulang dari rumah Keno. Davin kesana sekedar main dan juga untuk sedikit melupakan rasa sakitnya kembali.

Lelaki yang lebih tua dari Davin itu, menggelengkan kepalanya pelan. Matanya juga menatap keseluruhan tubuh Davin yang masih memakai seragam sekolah, serta wajahnya yang terlihat sedikit terluka. "Gak habis pikir gue sama om Noven dan tante Maureen. Bisa, ya, punya anak gini banget." Ujar lelaki itu yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Davin.

Fano, anak pertama dari Gio dan Lena segera ikut bangkit dari duduknya, saat Davin berdiri dan melangkah pergi meninggalkannya. Memang Davin adalah sepupu yang kurang ajar, batin Fano sedikit kesal.

"Mansion segede gini cuma dihuni sama lo, apa gimana? Gue dateng lima menit yang lalu, tapi gak lihat om, tante, juga Vani. Kemana mereka?" Fano bertanya sambil melangkah menaiki anak tangga bersama dengan Davin.

Davin yang masih menggendong ranselnya sempat membenarkan letak ranselnya sebelum menjawab pertanyaan Fano. Davin juga sempat mengedikan bahunya pelan. "Harusnya ayah sama bunda udah pulang, kalo kak Vani sama pacarnya mungkin." Sahut Davin.

"Lo sendiri ngapain kesini?"

Fano melirik Davin yang bertanya tanpa menatap dirinya. "Niatnya cuma mau main, tapi kayanya bakalan nginep juga."

"Disini bukan hotel."

"Anaknya siap, sih, lo, ngeselin banget?" Kesal Fano atas ucapan yang dilontarkan oleh sepupunya ini.

Tidak memperdulikan pertanyaan yang tidak penting dari Fano itu, Davin memilih terus melangkah menuju kamarnya yang terletak dilantai dua.

Fano yang sudah terbiasa dengan sikap Davin sedari kecil itu hanya bisa menghela napasnya pelan dengan kata 'sabar' yang sejak tadi dia ucapakan didalam hati. Berharap saja semoga Fano tidak naik pitam karena menghadapi sifat Davin yang bisa berakhir dengan wajah tampan Davin itu penuh memar.

"Dave, tunggu!" Suara Fano kembali terdengar. Lelaki itu memanggil Davin setelah dirinya mendengar suara aneh yang berasal tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Lo denger sesuatu, gak?" Lanjut Fano sambil menatap Davin dengan serius.

Sebelah alis Davin terangkat mendengar pertanyaan Fano barusan. Dia merasa tidak mendengar suara apapun sejak tadi, lalu suara apa yang didengar oleh sepupunya itu?

Davin tidak berucap apapun, dia hanya memandangi Fano yang kini tengah melangkah perlahan mendekati sebuah pintu yang sedikit terbuka. Itu adalah sebuah pintu kamar yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

DAVINNO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang