Sekejam apa pun seseorang, akan selalu ada masa, akan selalu ada waktu di mana sisi baiknya terlihat tanpa harus dipaksa.
***
Note : Harap baca informasi di akhir part.
"Ta, Aletta! Gak usah bercanda deh," seru Gema menepuk pipi Aletta lagi. Detik selanjutnya Gema langsung sadar bahwa Aletta tidak bercanda karena gadis itu masih tidak bergerak juga.
Suasana belajar yang mewajibkan setiap kelas menutup pintu dan tirai jendela saat jam pelajaran membuat keheningan semakin terasa nyata. Gema tidak menemukan siapa pun di sana kecuali dirinya dan Aletta.
Tidak mau hal mengerikan terjadi, tangannya bergerak membopong tubuh Aletta ala-ala bridal style. Saat itu Gema langsung tahu bahwa tubuh Aletta sangat ringan. Seringan senyum yang selama ini diperlihatkan. Merepotkan, tapi Gema tidak sejahat itu dengan meninggalkan Aletta begitu saja.
Gema tidak tahu kapan terakhir kali dirinya diserang panik yang berlebihan. Mungkin saat hewan peliharaannya mati beberapa tahun lalu. Dan hari ini, rasa cemas dan panik yang hampir serupa membuatnya berlari menuruni tangga menuju lantai satu.
Di koridor, masih sepi yang Gema temui. Bahkan ketika dirinya menendang paksa pintu UKS, ia tidak melihat siapa pun di sana. Hampir saja ia kembali berlari dan berniat membawa Aletta ke rumah sakit saat melihat seseorang berjalan dari kejauhan.
Perempuan yang Gema tahu bernama Resti itu menghampirinya dengan langkah tergesa. Langsung bertanya begitu di depannya, "Astaga, kenapa dia?" Dengan raut khawatir yang begitu kentara.
"Tadi dia jatuh dari tangga, Bu. Tolong langsung diperiksa, saya takut dia kenapa-napa."
"Ayo bawa dia masuk! Saya akan langsung periksa dia."
Resti langsung mempersilahkan Gema masuk dan meminta Gema agar membaringkan tubuh Aletta di atas ranjang.
Sambil menanti cemas, Gema hanya bisa mondar-mandir tidak jelas. Ia bahkan tidak berani melihat tubuh Aletta yang sedang diperiksa. Entah akan bagaimana dirinya jika sampai Aletta kenapa-kenapa. Bagaimana kalau Aletta geger otak? Lupa ingatan? Atau—
"Dia gak pa-pa kok. Cuma pingsan aja."
Ehh?
Sontak saja Gema langsung menoleh ke arah Resti. Perempuan itu mengulas senyum menenangkan untuk Gema. Tapi sayangnya itu sama sekali tidak menurunkan rasa cemas Gema.
"Gak pa-pa gimana, Bu? Jelas-jelas tadi saya liat pake mata kepala saya sendiri kalo dia ngegelinding dari tangga? Terus kepalanya juga berdarah, Bu!"
Gema tidak sadar bahwa sedang berbicara dengan nada tinggi untuk melampiaskan rasa khawatirnya pada gadis yang selama ini selalu dianggap parasit olehnya.
"Emangnya dia jatuh dari lantai berapa?" tanya Resti
Gema mengingat lagi. "Gak sampe satu lantai sih, kalo gak salah cuma gak sengaja kedorong di beberapa anak tangga terakhir," tuturnya mengingat kejadian tadi.
"Kepalanya berdarah cuma karena goresan kecil kok. Mungkin karena benturan. Tapi kamu tenang aja, benturannya gak nimbulin hal-hal serius kok. Gak parah. Nanti juga dia sadar."
"Serius gak pa-pa, Bu? Dia gak geger otak?"
Pertanyaan itu membuat Resti tergelak. "Kamu kok malah doain yang buruk-buruk sih?"
"Gak gitu," sergah Gema cepat. Ia menggaruk tengkuknya kikuk, "saya cuma takut aja," sambungnya mengulas senyum tipis.
"Tenang aja, dia gak pa-pa kok. Mendingan kamu balik ke kelas. Nanti pas istirahat bisa jenguk dia lagi di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema & Kurcaci Dari Pluto (COMPLETE)
Novela JuvenilKata orang, Gema itu menyenangkan. Dia baik, ramah, humoris dan mudah bergaul. Siapapun akan betah berteman dengan cowok itu. walaupun agak sedikit jahil dan menyebalkan, kepribadian Gema memang terlampau menyenangkan. Tapi kalau kata Aletta, Gema...