Berakhir

25 5 0
                                    

Riana berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Dirinya terlihat jelas dari pantulan cermin itu. Gadis itu sudah memutuskan. Tekadnya sudah bulat. Hanya ia yang pantas menentukan, apakah akan mengakhiri hubungannya dengan Marvel atau mempertahankannya.

Riana berangkat ke sekolah diantar Ilham. Selama di dalam mobil, Riana diam saja. Ilham juga memilih diam. Sebenarnya, sejak peristiwa di Bali, Riana menolak bicara dengan semua orang, kecuali mama-nya. Semua orang menyuruhnya untuk memutuskan Marvel.

"Udah sampai," ucap Ilham.

Riana mengangguk, segera turun dari mobil. Pergerakannya terhenti saat Ilham kembali berucap.

"Gue berharap, lo segera mutusin dia," tegas Ilham.

Riana berbalik, hanya untuk memberikan seulas senyum kecil pada Ilham.

Riana turun dari mobil. Ilham menjalankan mobilnya. Pemuda itu harus bergegas menuju kampus. Pagi ini, Ilham mendapat jadwal sidang tesisnya. Itu artinya, kesibukannya akan segera berkurang.

Riana menatap sedih kepergian Ilham. Diusapnya matanya yang mulai berair. Abangnya itu pasti sedih dengan keputusannya. Tidak, Riana tak ingin putus. Ia mencintai Marvel, sejak dulu. Bukankah cinta tak pernah salah? Bahkan Tante Mitha lebih memilih mengakhiri hidup daripada berpisah dengan cintanya.

Riana melangkah gontai ke kelasnya. Sepagi ini, sudah banyak murid yang datang. Sepertinya, semua orang akan belajar keras pada semester ini. Wajar saja, sekarang sudah semester dua. Murid kelas 10 dan 11 mempersiapkan diri agar bisa naik ke kelas yang lebih tinggi. Sementara murid kelas 12, mempersiapkan diri untuk kuliah. Semester ini bukan main-main.

Di kelas, Mellisa telah menunggunya dengan senyuman lebar. Liburan gadis itu sepertinya sangat menyenangkan. Terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.

"Gimana liburan, lo?" serbu Mellisa.

"Biasa aja," tanggap Riana, lalu segera duduk di kursinya.

"Kalau gue sih, seru banget," cerocos Mellisa. "Sepupu gue ngajak jalan keliling Yogya," ujar Mellisa bersemangat.

"Jalan? Jalan, kaki?" tanya Riana dengan alis yang hampir menyatu.

"Ya, bukanlah. Maksud gue, jalan-jalan pake mobil. Mati aja kalau iya jalan kaki," tanggap Mellisa.

"Ooh. Lo sih, ambigu," ujar Riana.

"Pokoknya, kapan-kapan lo harus ke Yogya. Yogya tuh, keren banget. Makanannya juga enak-enak," promosi Mellisa.

Pagi Senin ini, hujan turun deras. Biasanya, upacara bendera akan ditiadakan jika hujan turun. Tentu saja semua orang bersyukur dengan keajaiban alam ini. Termasuk Mellisa. Mellisa melanjutkan ceritanya tanpa khawatir.

Sayangnya, tak berapa lama, obrolan mereka langsung terhenti saat Bu Kiki memasuki kelas. Siapa yang berani jika berhadapan dengan Bu Kiki. Hukumannya memang selalu berhasil mendatangkan malu. Sampai bingung di mana harus menaruh muka.

*****

Bel tanda istirahat berdentang. Bertepatan dengan itu Pak Halim keluar kelas. Murid selalu senang dengan guru seperti itu. Tak peduli guru itu terlambat masuk ke kelas. Asalkan keluar tepat waktu. Kecuali bagi murid pintar dan rajin belajar. Mungkin hal itu akan menjadi masalah besar bagi mereka.

Riana dan Mellisa melangkah menuju kantin. Seperti biasanya, kantin selalu ramai. Hanya ada satu dua tempat yang kosong. Riana segera mengajak Mellisa ke salah satu tempat kosong yang ada di pojok dekat jendela.

"Makan apa nih, kita?" tanya Mellisa.

"Bakso aja. Dingin-dingin gini enak kalo makan itu," putus Riana.

Setipis Kertas (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang