Surat Darinya

26 6 0
                                    

Suasananya masih sama. Ia duduk di tempat yang sama. Dinaungi payung besar warni-warni. Ditemani sebatok air kelapa muda. Memandang ke arah yang sama. Lautan luas yang seperti taburan berlian kala ditimpa cahaya matahari. Bedanya, ia seorang diri di sini.

Riana merasa perutnya perih. Ia baru ingat, terakhir makan tadi pagi. Itu pun cuma sedikit. Ia memutuskan untuk makan di tempat biasa mereka makan. Sebuah kedai kecil di tepi pantai. Nasi goreng spesial menjadi pilihan santap siangnya hari itu.

"Bawangnya dibanyakin ya Bu," tuturnya.

"Baik, Neng. Silahkan duduk dulu."

Riana duduk di tempat mereka biasa duduk. Bahkan, ia merasa masih mencium bau Marvel di kursi itu. Tak berselang lama, nasi goreng pesanannya telah tersaji di hadapannya.

"Kok sendiri aja, Neng. Mas yang bareng Neng waktu itu ke mana?" tanya Ibu pemilik kedai.

Riana tercenung sesaat. "Rafan, baru saja meninggal," ucapnya pelan.

"Inna lillahi wainna ilaihi rajiun," ucap si Ibu kaget, tak menyangka pemuda itu pergi secepat ini.

"Ibu turut berduka ya, Neng. Silahkan lanjutkan makannya."

"Makasih, Bu," ucap Riana diiringi senyum kecil. Lalu melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

Selepas makan siang, Riana kembali ke tempat duduknya di tepi pantai. Yang dilakukannya hanya merenung. Memandang ke lautan luas. Hal yang selalu ia dan Marvel lakukan saat di sini. Biasanya mereka sesekali akan berbincang ringan.

Hingga senja menyapa, Riana masih betah duduk di sana. Ditemani sebatok kelapa muda yang tinggal setengah. Beberapa muda-mudi tampak duduk lesehan di tepi pantai sembari menunggu datangnya sunset. Ponselnya sudah dimatikan sedari tadi. Ia tidak ingin diganggu saat ini.

Hanya menghitung detik, menjelang matahari terbenam. Gradiasi wana jingga di langit itu, hanya berlangsung selama 37 detik. Hanya sebentar tapi mampu memukau indra penglihatan.

Namun, sunset yang selalu ia sukai, tak lagi terlihat indah. Ia teringat, saat sunsetlah hubungannya dengan Marvel berakhir. Sunset waktu itu, adalah sunset paling menyakitkan dalam hidupnya.

Dewi malam telah menampakkan wujudnya saat Riana menumpangi taksi menuju rumah. Jendela taksi dibiarkannya terbuka. Membuat angin masuk, menerbangkan helaian rambutnya. Pandangan mata diarahkannya keluar jendela. Menikmati suasana malam di tengah kemacetan ibukota.

"Waduh, Mbak. Jalan di depan macet. Kayaknya bakal lama," kata sang supir taksi.

Riana menoleh ke depan. Benar, jalanan memang macet parah. Tak ada celah untuk menyalip. Ribuan kendaraan mengular panjang. Ditambah suara klakson yang saling bersahutan mampu membuat kuping sakit. Entah apalagi penyebab macet malam ini.

"Cari jalan lain aja, Pak," usul Riana.

"Baik, Mbak."

Sang supir taksi memutar jalan. Berbelok ke arah kiri untuk menghindari macet. Riana tak begitu hafal jalan ini. Sedikit bergidig ngeri kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Namun, saat taksi melewati sebuah tempat, Riana teringat sesuatu.

"Berhenti di sini, Pak," serunya.

Dengan patuh, sang supir menghentikan jalan mobilnya. Menoleh ke belakang, mengharapkan alasan mengapa Riana meminta berhenti. "Ada apa, Mbak?" tanya laki-laki setengah baya itu.

Setipis Kertas (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang