Riana benar-benar menjauhi Marvel. Sebisa mungkin dihindarinya bertemu pemuda itu. Dia akan menghindar saat melihat Marvel. Walau tak sengaja berpapasan, gadis itu berusaha tak melirik Marvel. Seakan-akan mereka tak saling kenal. Riana lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Gadis itu menyibukkan diri dengan belajar.
"Nggak ke kantin lagi, Na?" tanya Mellisa yang heran melihat Riana yang sekarang jarang makan di kantin.
"Nggak, Mel. Gue mau ke perpus dulu," jawab Riana bangkit dari duduknya.
"Nggak laper?" tanya Mellisa lagi.
"Laper, sih. Tapi nanti aja, pas istirahat kedua," ujar Riana.
"Lo menghindar dari Marvel?" tanya Mellisa hati-hati.
"Gue lagi nggak pengen ketemu dia," ucap Riana sendu.
Cepat-cepat Mellisa mengalihkan topik pembicaraan. "Mau gue bawain ke sini nggak? Lo mau pesen apa?" ucap Mellisa.
Riana tersenyum tipis, menutupi rasa sedihnya berpisah dengan Marvel. "Nggak perlu. Gue pergi dulu, yaa," ucapnya, lalu berbalik pergi.
Berusaha menghindar, Riana malah berpapasan dengan Marvel. Pemuda itu datang dari arah perpustakaan. Mereka saling mengalihkan pandang setelah sekian detik saling bertatapan. Lalu pergi seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Baru tiga langkah pergi, Riana menoleh ke belakang. Memandang Marvel yang melangkah lurus ke arah kantin tanpa berbalik menolehnya. Riana menghela nafas dan balik badan menuju perpustakaan. Saat itulah Marvel berbalik menghadap ke arahnya.
Riana terus melangkah ke perpustakaan tanpa menoleh lagi ke belakang. Gadis itu mengambil satu buku matematika dan membawanya ke ruang baca. Dibukanya halaman secara acak. Baru membaca setengah halaman, gadis itu melamun.
Benar-benar berakhir. Sejak hari itu semuanya benar-benar selesai. Tak ada lagi harapan untuk bersama, walau Riana masih mencintainya. Mereka seperti orang asing satu sama lain.
Saat pulang sekolah pun, Marvel melewatinya begitu saja. Riana ditemani Mellisa sedang menunggu Pak Maman di gerbang sekolah saat Marvel yang mengendarai motor hitamnya lewat. Tanpa ada lirikan sedikit pun, pemuda itu meluncur ke jalan raya. Riana hanya bisa memandangi punggungnya yang kian menjauh.
"Na, panggil Mellisa yang seketika mengalihkan perhatian Riana.
"Kenapa, Mel?" ujarnya sembari menoleh pada sahabatnya itu.
"Lo cerita dong. Lo ada masalah apa sih sama Marvel? Kenapa lo sedih waktu liat Marvel?" tanya Mellisa beruntun.
Riana yang tengah menunduk seketika terdiam. Gadis itu mengangkat wajah. Ia tersenyum pedih. "Dia taruhan," ucapnya sembari melirik sekilas pada Mellisa.
Mellisa mengerjapkan matanya. "Maksud lo, Na?" tanya gadis itu dengan kening berkerut.
"Kita pacaran, karena dia taruhan," balas Riana.
Mellisa terdiam. Gadis itu paham betapa sakitnya yang dirasakan Riana. Ia tak punya kata yang tepat untuk menenangkan Riana. Gadis itu hanya menepuk bahu Riana untuk menguatkannya.
*****
Makan malam telah berakhir sejak lima belas menit lalu. Semua orang berkumpul di sofa ruang keluarga. Fokus Riana tertuju pada ponsel di hadapannya. Jemarinya lihai menggulir layar. Ilham yang duduk di samping Riana tak kalah sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu cengar-cengir membalas chat Anggika. Sedangkan kedua orangtua mereka, tengah berbincang santai.
Hingga pertanyaan Rayhan mengakhiri aktivitas Riana. "Mau lanjut kuliah di mana nanti, Sa?" tanya laki-laki yang masih tampan di usia paruh bayanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setipis Kertas (Complete)
Teen FictionTernyata benar kata-kata yang ajaib itu. Benci itu dekat dengan cinta. Karena benci bisa membuat seseorang jatuh cinta. Perbedaan cinta dan benci itu setipis kertas. Kalau sekarang kamu membenci seseorang, bisa jadi besok kamu berbalik mencintai or...