Riana mengernyitkan matanya. Saat membuka mata, ia sudah berada di kamarnya. Gorden yang tak tertutup rapat membuat cahaya matahari masuk menyilaukan matanya. Satu hal yang menjadi pertanyaan Riana, kenapa ia bisa berada di kamarnya? Bukankan semalam ia tertidur di taman?
Pertanyaan itu terjawab saat Ilham baru saja muncul dari balik pintu kamarnya. "Gue yang bawa lo ke sini. Tadi malam, lo ketiduran di taman," ujar Ilham memberitahu.
"Dari mana lo tahu gue di taman? Papa nyuruh Abang ngikutin gue?" sergah Riana.
Merasa tak ada pilihan lain, Ilham memilih jujur. Riana akan bertambah marah jika ia membohonginya. Akhirnya ia mengangguk. Hal itu membuat mata Riana mulai mengembun.
"Kenapa sih, Papa nggak pernah ngasih gue kebebasan? Kenapa Papa selalu ngatur hidup gue?" serunya.
"Lo nggak akan pernah ngerti gimana setiap orang tua ingin yang terbaik buat anaknya. Karena hati lo udah dibutakan dengan cinta," ujar Ilham memberi pengertian.
"Lo ngomong gitu, karena lo bebas jatuh cinta sama siapa pun. Nggak kayak gue," ucapnya dengan setetes air mata yang mulai jatuh.
"Udah lah, Sa. Lupain semuanya. Lupain Marvel. Lebih baik sekarang lo sarapan. Semua orang udah nunggu di bawah," ujar Ilham.
"Gue nggak laper," balas Riana. Ia mengarahkan pandangan ke arah lain.
"Oke, kita lihat sejauh mana lo bisa nahan lapar," ujar Ilham. Setelahnya pemuda itu beranjak meninggalkan kamar Riana.
Setelah Ilham pergi, Riana mengunci pintu kamarnya. Ia kembali tidur di ranjang. Air matanya tumpah saat teringat surat dari Marvel. Begitu cepat pemuda itu meninggalkannya. Padahal mereka baru menyadari cinta yang sesungguhnya.
Saat jam makan siang, pintu kamar Riana diketuk dari luar. Kali ini Katharina yang memanggilnya. "Sa, makan siang dulu sayang," ujarnya dari balik pintu yang tertutup rapat.
"Aku nggak laper, Ma," balas Riana dari dalam kamar.
"Nanti kamu sakit, Sa. Tadi pagi kamu juga nggak sarapan," ucap Katharina masih mencoba membujuk.
Kali ini Riana tak menjawab lagi. Setelah dirasa mamanya telah pergi, gadis itu beranjak menuju balkon kamarnya. Duduk di kursi yang memang telah tersedia di sana. Lalu, merenung.
*****
"Sudah hampir 3 hari Clarissa nggak keluar kamar, Mas. Dia juga nggak mau makan. Aku khawatir dia jatuh sakit," adu Katharina.
Rayhan menghela napas. Ia tampak gusar. Sejujurnya, ia juga khawatir dengan kondisi putrinya. "Kamu terus bujuk dia. Kalau sampai nanti malam dia nggak keluar kamar juga, aku akan buka paksa pintu kamarnya," ujar Rayhan.
"Iya, Mas," ucap Katharina sembari mengangguk mengerti.
Sampai malam tiba pun, Riana tak kunjung keluar dari kamarnya. Tak ada jalan lain lagi selain membuka paksa pintu kamar gadis itu. Karena tak ada kunci cadangan, akhirnya Rayhan dan Ilham memutuskan untuk mendobrak pintu. Saat pintu terbuka, Riana sudah tergeletak tak berdaya di lantai.
"Sa?" teriak Katharina histeris.
"Siapkan mobil, Ham. Kita ke rumah sakit sekarang," seru Rayhan sembari memeluk tubuh putrinya yang lemah. Katharina tak berhenti menangisi kondisi putrinya.
Malam itu juga, Riana dibawa ke rumah sakit yang dikelola oleh Katharina sendiri. Kebetulan, Katharina adalah direktur utama rumah sakit Wijaya Medika. Sebagai seorang dokter, Katharina tahu bagaimana mengkhawatirkannya kondisi putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setipis Kertas (Complete)
Teen FictionTernyata benar kata-kata yang ajaib itu. Benci itu dekat dengan cinta. Karena benci bisa membuat seseorang jatuh cinta. Perbedaan cinta dan benci itu setipis kertas. Kalau sekarang kamu membenci seseorang, bisa jadi besok kamu berbalik mencintai or...