6. Lima Tahun Kemudian

8.7K 1K 36
                                    

BAB 6

Februari 2010

Lima Tahun Kemudian

Kumala menyalakan kompor gas dengan hati-hati. Sesekali ia melirik ke arah ruang tamu di mana ada Harjuna yang sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria yang kini berstatus mahasiswa semester akhir itu, tengah menyusun skripsi dan nyaris lupa mengisi perut. Hal itu jelas saja membuat Kumala berinisiatif memasak.

Selama tinggal dengan Harjuna, pria itu selalu melarang Kumala mendekati kompor karena menganggap Kumala masih anak kecil. Bahaya, katanya. Padahal Kumala sudah mulai memasuki usia belasan tahun, dan sudah sewajarnya berkenalan dengan seisi dapur. Harjuna cuma mengijinkan Kumala mencuci piring atau memberesi seisi rumah, asalkan tidak mendekati kompor. Nanti ada waktunya Kumala bisa masak, kata Harjuna begitu.

"Masak telor sama indomie aja kali ya," gumam Kumala seraya memasak air ke dalam panci.

Meski Harjuna seringkali melarang Kumala menyentuh kompor, namun gadis beranjak remaja itu diam-diam suka menengok Bik Siti memasak, dan belajar sedikit-sedikit. Bik Siti itu adalah asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu di rumah Harjuna. Jadi tugasnya hanya memasak pagi dan malam. Saat ini, Bik Siti tak bisa bekerja lantaran harus merawat suaminya di rumah sakit. Jadi, kadang-kadang Harjuna yang masak seadanya, atau beli makanan di luar.

Mendengar suara mendidih, Kumala mematikan kompor. Dengan tangan kosong, Kumala hendak mengangkat panci berisi air tadi.

"Ah, panas!" Aduhnya seraya mengibas-ngibaskan kedua tangan dan meniupnya. Ia meringis merasakan jemarinya nyaris saja seperti terbakar.

"Gimana rasanya kena panci panas? Enak?"

Kumala terkesiap begitu mendengar suara Harjuna. Ia berbalik dan menemukan Harjuna tengah bersandar di kulkas dengan kedua tangan ia lipat di depan dada. Pria itu berjalan menghampiri Kumala dengan raut wajah tak senang.

"Ini makanya, aku suruh kamu jauh-jauh dari dapur."

Bibir Kumala mengerucut mendengar sindiran Harjuna. "Tapi kan Kuma pengen masak."

"Tapi kamu masih kecil, bahaya deket kompor."

"Udah mau SMP masa dibilang anak kecil. Temennya Kuma ada tuh udah bisa masak, masa Kuma belum," gerutu Kuma.

Harjuna mendesah berat. Ini bukan pertama kalinya Kumala suka curi-curi kesempatan untuk main ke dapur.

"Ya udah. Tapi hati-hati lain kali. Kalau mau angkat panci, pakai sarung tangan atau kain."

Kumala mengangguk semangat, karena akhirnya mendapat lampu hijau dari Harjuna.

"Oke, Bos. Tadi itu Kuma cuma lupa aja ngambil sarung tangannya."

Mendengar respon Kumala yang semangat, Harjuna tersenyum tipis dan mengusap rambut hitam Kumala yang lembut. Lantas beralih melihat meja dapur, di sana ada dua bungkus mie instant dan dua biji telur.

"Mau masak mie instant?" Pertanyaan Harjuna diangguki Kumala. "Ya udah, aku aja yang bikin. Kamu duduk situ," lanjutnya seraya menunjuk kursi makan.

Namun, Kumala tak mengindahkan perintah Harjuna untuk duduk. Ia malah ingin melihat pria itu memasak. "Kuma sambil ngeliatin, boleh? Biar sambil belajar masak juga."

Meski sedikit keberatan, Harjuna mengangguk. Ia mulai aksinya memasak mie instant. Selama tiga tahun lebih, tepatnya sejak Harjuna masuk kuliah, ia dan Kumala sudah tinggal terpisah dari Papihnya Harjuna. Keduanya menempati rumah minimalis yang dibeli Papih Harjuna. Tadinya papih ingin membelikan Harjuna sebuah apartemen, tapi ditolak karena lebih memikirkan keselamatan Kumala. Tinggal di apartemen, gedung bertingkat yang harus menaiki lift, akan sangat merepotkan Kumala yang masih anak kecil. Jadi Harjuna memilih tinggal di rumah minimalis berlantai dua saja.

Yah, meskipun Harjuna membenci Papihnya, ia tetap menerima uang bulanan yang diberikan Papih yang sangat cukup menghidupi kebutuhannya.

"Harusnya tadi kamu langsung masukin mie instannya ke dalam panci selagi airnya dimasak," kata Harjuna seraya membuka bungkus mie instan.

"Bukannya masak air dulu, terus nanti mienya dicampur air dalam mangkuk terus ditutupin piring?" tanya Kumala sedikit bingung. Ia pernah lihat temannya memasukkan mie ke dalam mangkuk dan ditambah air panas. Nanti tinggal ditutupi agar mienya lembek. Tadi Kumala ingin buat seperti itu.

"Bisa sih gitu. Tapi nggak enak." Dulu pernah Harjuna camping sewaktu MOS kuliah dulu, dan membuat mie direbus dalam mangkuk. Rasanya hambar menurut Harjuna. "Ini ditambahin cabe sama bawang lebih enak, sama tomat juga." Harjuna mengambil bahan bahan dalam kulkas.

Sementara Kumala sibuk melihat-lihat aksi Harjuna. Ketika dilihatnya pria itu hendak mengiris cabe, Kumala langsung menawarkan diri untuk membantu.

"Sini Kuma aja yang potongin cabenya?"

"Emang tahu?" Harjuna sejenak berhenti mengiris cabe. Dan melirik Kumala yang raut wajahnya pun tampak ragu. "Nggak usah. Nanti yang diiris bukan cabenya, malah jari kamu. Udah, diem aja di situ."

Kumala mendumel dalam hati karena bantuannya ditolak. Padahal Kumala ingin coba-coba.

Tak sampai sepuluh menit, akhirnya mie instan buatan Harjuna sudah jadi. Wangi bumbu penyedap seketika menguasai seisi rumah, dan mungkin wanginya juga mampir ke rumah tetangga. Kumala tampak puas melihat penampakan mie instan ala kakak angkatnya itu. Meskipun bentuknya tidak aestetik seperti yang ada di kemasan, tapi sungguh menggugah selera, apalagi bau micinnya yang menusuk hidung.

"Kak Juna mau pake nasi, nggak?" tanya Kumala seraya mengambil nasi dari rice cooker.

"Nggak," jawab Harjuna. Ia memang tidak suka mencampur nasi dengan mie instan. Rasanya aneh, kata dia.

"Emang Kak Juna kenyang cuma mie doang?" Kumala cengo. Ia tahu sih, Harjuna memang jarang sekali makan mie instan campur nasi. Tapi kan, setidaknya bisa kenyang gitu loh.

Pertanyaan Kumala justru ditanggapi dengan deheman pelan. Harjuna mulai mencicipi mie buatannya. Makan malam pun berlangsung damai.

***

Harjuna berdecak sebal begitu membuka pintu rumahnya, di depannya ada sosok wanita cantik tengah memanyunkan bibir dan tangan terlipat di depan dada.

"Kenapa nggak balas BBM aku?" Wanita itu langsung menyerang Harjuna dengan kesal.

"Aku sibuk, ngerjain skripsi," jawab Harjuna sambil lalu. Ia berjalan menuju ruang tamu dan membiarkan pintu terbuka, pertanda ia membiarkan Fanny--pacarnya--itu ikut masuk.

"Emang ngebales BBM aku butuh berapa menit sih? Nggak sampe semenit kali, Jun." Fanny mengikuti Harjuna yang kini duduk di sofa.

"Nggak sempet."

Jawaban Harjuna sontak saja membuat Fanny berdecak, menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dengan kuat.

"Kalo nggak sempet ngetik, bisa kali pake voice note."

Harjuna menggaruk kepalanya seketika. Cuma perkara BBM nggak dibalas doang, bisa bikin cewek pe-em-es mendadak.

"Terus, sekarang kamu maunya gimana? Kita putus? Ya ayo!"

Harjuna pun sudah tak betah berpacaran dengan Fanny. Selama hampir enam bulan pacaran, Fanny terlalu ingin diperhatikan. Tidak peduli sesibuk apapun Harjuna. Kayak begini nih, sampai mendatangi rumah Harjuna cuma karena perkara BBM tidak dibalas.

"Ih, kok putus? Siapa bilang mau putus? Aku tuh cuma kesel kamu nggak ngebales BBM aku."

"Iya, tahu. Tapi apapun jawaban aku, kamu nggak terima. Ya udah, mending putus aja."

"Nggak mau!"

"Kamu bakalan nemuin cowok yang bisa balas bbm kamu tiap saat dan perhatian sama kamu," kata Harjuna, mencoba melunak ketika dilihatnya Fanny hampir menangis.

Sementara di lantai dua, Kumala melihat kejadian itu karena tadinya penasaran mendengar suara berisik dari Fanny. Setidaknya, kakak angkatnya itu mengambil keputusan yang tepat dengan mengakhiri hubungannya dengan Fanny. Karena jujur saja, Kumala sedikit tidak menyukai Fanny yang seperti ratu drama.

Bersambung....

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang