BAB 7
Membantu menyiapkan sarapan sudah menjadi kebiasaan Kumala sejak ia mulai masuk Sekolah Menengah Atas. Dan karena sudah menjadi kebiasaan, Kumala sempat bilang kepada Harjuna kalau ia bisa melakukan pekerjaan rumah tanpa bantuan Bik Siti dan mengusulkan untuk tak lagi mempekerjakan asisten rumah. Namun, Harjuna menolak usul Kumala. Ia bilang, kalau masakan Kumala belum bisa menandingi masakan Bik Siti. Ditambah lagi, Kumala harus mengikuti les tambahan di sekolah yang membuat cewek remaja itu tak punya waktu banyak untuk mengerjakan urusan rumah. Apalagi Harjuna bukan orang kekurangan yang tak sanggup bayar asisten rumah tangga. Harjuna bahkan bisa membayar tiga orang asisten rumah tangga lagi.
"Bekalnya dibuat nggak, Dek?"
Kumala yang sejak tadi sibuk mencuci buah-buahan, seketika atensinya teralihkan oleh Bik Siti yang sibuk menyajikan sarapan di meja makan.
"Enggak usah, Bik. Kan sekarang hari jumat. Nggak ada les."
Sekolah tempat Kumala bernaung sekarang memang mewajibkan les tambahan setiap senin sampai rabu, dan pulang menjelang matahari terbenam. Itu sebabnya, Kumala sering membawa bekal ketimbang jajan di kantin.
"Nggak terasa ya, sekarang dek Mala udah kelas dua SMA. Bentar lagi kuliah, terus nikah."
Kumala terkekeh mendengar ucapan Bik Siti.
"Masih lama lagi nikahnya, Bik."
"Iya juga ya." Sekarang giliran Bik Siti yang terkekeh garing. "Pacaran aja belum pernah kayaknya ya. Eh, Dek Mala betulan belum pernah pacaran?"
Kumala menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Tapi udah naksir seseorang kan?"
Kali ini Kumala ketawa. "Hmmm. Ada sih, di sekolah yang Kuma kagumi. Ganteng, pinter, terkenal pula," ujar Kumala mengingat salah satu kakak kelas yang memang sudah lama menarik perhatiannya. "Tapi sayangnya, dia udah ada pacar."
"Oalah." gerutu Bik Siti. "Tapi sebelum janur kuning melengkung, masih bisa direbut tuh , Dek."
Kumala ketawa mendengar ajaran Bik Siti yang cukup menyesatkan. Ia segera berhenti ketika matanya mengawasi sekitar rumah. Harjuna belum kelihatan sama sekali pagi ini, padahal sebentar lagi sarapan.
"Kak Juna udah bangun belum ya, Bik?" tanya Kumala seraya tetap mengedarkan pandangan di sekitar.
"Udah tadi. Tapi kayaknya di teras, mungkin lagi ..." tanpa melanjutkan dengan kata-kata, Bik Siti justru memberi isyarat dengan dua jari di depan bibir.
Kumala mengangguk paham. Ia segera berjalan menuju teras. Benar saja, Harjuna tengah duduk di kursi seraya menghisap rokoknya. Laki-laki itu sudah rapi dengan kemeja putih serta dasi biru tua yang membuatnya terlihat tampak berkelas.
"Ehem!"
Deheman keras Kumala seketika membuat lamunan Harjuna buyar. Laki-laki itu menoleh ke arah Kumala sekilas, lantas buru-buru mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah batang.
"Kak Juna mikirin apa? Serius amat nampaknya." tanya Kumala seraya duduk di kursi sebelah. Ia melirik jam tangannya sebentar, masih ada waktu dua puluh menit lagi sebelum berangkat.
Harjuna tak segera menjawab. Ia masih diam dengan tatapan ke depan. Karena tak mendapat respon, Kumala bersiap untuk berdiri dan mengajak Harjuna sarapan.
"Orang tua itu mau nikah lagi."
Mata Kumala spontan melotot mendengar ucapan Harjuna. Lagi? Itu berarti ini akan jadi pernikahan ketiga Handika-ayahnya Harjuna. Pernikahan Handika dengan istri keduanya tak bertahan lama, hanya setahun.
"Heran, udah tua kok masih aja ganjen." Harjuna menggerutu kesal. Mau tak mau, Kumala mengiyakan dalam hati.
Bagi Kumala, Handika itu tidak tertebak karakternya. Entah karena mereka jarang bersua. Sewaktu tinggal di rumah papihnya Harjuna, kadang-kadang Kumala ingin mengajak Handika berbicara, namun tak pernah digubris. Kumala yang sudah menganggap Harjuna sebagai kakaknya, ingin memanggil Handika dengan sebutan Papih juga. Namun berakhir dengan menyebutnya Om Handika.
"Mungkin karena Om Handika kesepian kan, jadi bisa aja dia emang butuh temen buat nemenin hari tuanya."
Kumala mencoba memberi tanggapan positif. Apa lagi Om Handika tinggal sendiri sejak Harjuna meminta pisah rumah. Ditambah lagi, Om Handika tidak memiliki anak dari istri keduanya.
***
"WOI!"
Kumala terkaget ketika seseorang tiba-tiba menabrak dirinya dari belakang. Namun segera berdecak kesal karena si pelaku adalah teman sebangkunya sendiri, Amanda.
"Bikin kaget aja!" decak Kumala seraya memukul pelan bahu Amanda.
Amanda justru membalas dengan cengiran tanpa rasa bersalah. "Kita ada PR bu Susi, nggak sih?" tanyanya, kini tangannya merangkul pundak Kumala selagi mereka berjalan menuju kelas.
"Ada." Kumala menjawab pelan, mulai merasakan aura tak mengenakan.
"Bagi contekan dong, pliiiis!"
Tuh kan!
Kumala lagi-lagi mendecak seraya memutar bola matanya. Ia mempercepat lajunya begitu sudah sampai di kelas.
Merasa dikacangin, Amanda sekali lagi meminta. "Kuma, pliiiss! Sama temen sebangku nggak boleh pelit."
Dengan berat hati, Kumala mengeluarkan buku PR-nya dari tas. Lantas memberikannya pada Amanda yang kini tersenyum kegirangan. Selama setahun lebih mereka memang berteman baik, namun Kumala tidak menyukai sifat Amanda yang satu ini, suka menyalin PR. Tapi mau bagaimana lagi, dibilangin juga percuma. Amanda tetaplah Amanda. Cewe cantik yang suka berlagak layaknya tuan putri.
"Dih, nyontek!"
Suara dari belakang dua cewek ini seketika mengejutkan mereka. Amanda melirik sinis pada si empunya suara barusan, lantas melanjutkan copy paste manual PR.
"La, buat lo!" Pemilik suara tadi meletakkan satu kotak susu cokelat di atas meja Kumala.
"Thanks ya." Kumala meraih kemasan tersebut.
Terdengar helaan napas kasar dari Amanda yang meskipun tidak menghentikan kegiatan copy pastenya. Terlihat sekali bahwa teman sebangku Kumala itu merasa kesal karena tidak kebagian susu cokelat.
Well, Kumala sudah biasa dengan ketidakakuran Amanda dan Dewangga, si empunya suara tadi. Cowok yang mejanya tepat di belakang mereka.
"Kenapa semalam nggak masuk?" Kumala memutar tubuhnya ke belakang, bertanya pada Dewa yang baru saja duduk. Pasalnya, cowok itu tak masuk tanpa keterangan selama dua hari.
"Males."
Jawaban Dewa seketika mengundang decakan Kumala.
"Lo abis berantem lagi kan sama gengnya kak Pras?"
"Enggak!"
"Nggak usah bohong! Bekasnya ada di muka lo tuh." Kumala menunjuk wajah Dewa yang memang ada sedikit memar kebiruan di pipi sebelah kirinya. "Dewa, Dewa ... udah gue bilang, nggak usah deh berurusan sama orang-orang kayak mereka."
"Orang itu duluan yang cari masalah, ya gue lawanlah. Masa diam aja."
Sejak masuk kelas sepuluh, Dewa memang sudah sering bersinggungan dengan geng kakak kelas. Berawal dari masalah sepele. Tanpa sengaja bersenggolan di kantin sampai membuat kuah bakso Pras--si kakak kelas--tertumpah sedikit. Kemudian saling menyindir setiap kali berpapasan. Dan lanjut saling tonjok-menonjok. Kalau tidak salah, ini kedua kalinya Kumala menemukan memar luka di wajah Dewa sejak mereka masuk SMA.
"Lain kali, diemin aja, Wa. Jangan ditanggapi. Orang-orang kayak begitu, makin diladeni makin ngelunjak. Udah, diem aja."
"Iya, iya. Gue usahain kalo bisa," jawab Dewa pasrah. Tangannya terulur ke arah wajah Kumala, hendak menyibakkan sejumput rambut yang berkibar diwajah cewek itu.
Kumala segera menyingkirkan tangan Dewa dan menyelipkan sendiri helaian rambut itu di balik telinganya. Ia menyadari beberapa pasang mata di kelas tengah menatap aneh ke arah mereka. Sebentar lagi bahan rumor tentang mereka berdua bakalan nambah lagi.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
TERIKAT
Romance[status: revisi, re-publish, on going] Harjuna Mahendra punya kesalahan yang sangat besar kepada Kumalasari. Kesalahan yang mungkin tak 'kan bisa termaafkan, membuatnya seringkali mimpi buruk akan hal itu. Dengan kesediaannya, ia pun mengurus segala...