31. Rindu yang Terobati

4.7K 670 36
                                    

BAB 31

"Apa? Kamu mau ngekos? No, no, no. Di luar nggak aman, Kumala."

"Tapi Kuma pengen dekat sama Ibu."

Harjuna memijit kepalanya yang tiba-tiba pening ketika Kumala tiba-tiba saja mencetuskan ide untuk tinggal di kos-kosan yang jauh dari rumah mereka. Apalagi memilih di tempat kos yang pemukimannya sangat padat, dan rawan kriminalitas. Tentu saja Harjuna tidak bisa tenang memikirkan itu.

"Tapi tempat itu jauh dari kantor. Emang nggak capek nanti pulang-pergi dari sana ke kantor?" Harjuna beralasan yang cukup masuk akal.

"Kuma bisa resign, terus cari kerjaan yang lebih dekat di sana."

Harjuna mengembuskan napas beratnya, menatap Kumala dengan kening mengerut. Sebenarnya boleh-boleh saja jika Kumala ingin dekat dengan keberadaan ibu kandungnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Namun ia juga mengkhawatirkan keadaan Kumala di daerah yang menurutnya agak kumuh dan banyak sarang preman. Dan jaraknya cukup jauh dari rumah mereka, membuat Harjuna akan kesulitan untuk menjaga Kumala.

Karena Kumala terus saja mendesak Harjuna untuk mengijinkannya tinggal sendirian, akhirnya Harjuna memperbolehkannya untuk ngekos di tempat yang sangat dekat dengan ibunya.

Di sinilah Kumala sekarang, merenggangkan otot-ototnya yang ketika baru saja bangun tidur. Ia menyewa sebuah sebuah rumah kontrakan yang berada tepat bersebelahan dengan kontrakan milik ibunya. Dengan kekuasaan yang Harjuna punya, ia berhasil membuat orang yang sempat tinggal di sana untuk pindah ke tempat lain–tentunya dibarengi dengan sejumlah uang yang lumayan. Agar Kumala bisa tinggal di sana. Kumala tidak peduli jika keegoisannya melibatkan orang lain, yang penting ia bisa bertemu dengan ibunya setiap hari. Setelah ia selidiki lebih lanjut, ternyata memang rumah salon dan rumah pribadi ibunya memang terpisah tidak jauh.

Kumala melihat banyak ibu-ibu mengerumuni tukang sayur gerobak tak jauh dari kontrakannya. Awalnya Kumala mau mengabaikannya saja, namun karena melihat ibunya ternyata ada di sana juga, tanpa ba-bi-bu Kumala langsung menghampiri tempat itu.

"Ngeborong ya, Mbak," tukas Kumala saat melihat belanjaan ibunya yang ternyata lumayan banyak, dua kantung plastik yang besar.

Wanita paruh baya yang disapa Kumala hanya tersenyum tipis saja seraya membayar belanjaannya dan pergi berlalu. Kumala berdecak karena ia bahkan belum sempat berbelanja–padahal sebenarnya tidak tahu mau beli apa. Hanya memandangi punggung ibunya yang pergi menjauh. Entah kenapa wanita yang Kumala kira ibu kandungnya itu selalu bersikap cuek terhadapnya. Padahal Kumala sebisa mungkin untuk bersikap ramah.

Sudah hampir sebulan ia tinggal di rumah kontrakan ini, namun tidak ada perkembangan mengenai harus ia apakan hubungan antara ia dan ibunya. Bagaimana cara ia mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya. Bagaimana agar ibunya tahu bahwa ia adalah Kumala yang pernah ia buang dulu. Kumala tidak boleh lengah, ia harus lebih agresif lagi.

Dengan tekad yang mantap, Kumala mengetuk pintu di depannya dua kali. Tak berapa lama, pintu dibuka, tampaklah wajah sang ibu hanya mendesah berat seolah tidak mengharapkan kedatangan Kumala.

"Ada apa ya?" tanya Ibu dengan nada datarnya.

"Hm, itu, Mbak, listrik di kontrakan Kuma lagi rusak. Kuma boleh numpang ngecas hape nggak? Soalnya udah low bat." Kata Kumala beralasan.

Kening sang Ibu mengerut, pertanda sedikit tak percaya dengan ucapan Kumala. "Udah panggil tukang PLN buat dibenerin?"

"Udah, tapi katanya ntar sorean datang. Kan lama, Mbak. Sementara Kuma butuh banget hapenya dicas."

Menghela napas pendek dengan raut wajah sedikit memberat, wanita paruh baya itu pun membuka pintunya lebar-lebar, mengisyaratkan Kumala untuk masuk.

Dengan senang hati, Kumala memasuki rumah itu sambil membawa HP beserta chargernya. Ini pertama kalinya Kumala bisa melihat seisi rumah ibunya. Ruang tamunya lumayan rapi dan bersih.

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang