11. Lebih Penting Kamu

4.8K 734 23
                                    

BAB 11

"La, bareng yuk!"

"Yuk!"

"Nganterin lo maksudnya."

Kumala baru saja memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Dewangga datang merangkul bahunya.

"Nggak usah repot-repot, Tuan Dewangga. Kuma dijemput." Kumala sedikit meledek.

"Sekali-kali bareng gue aja. Biar lo ngerasain naik motor ninja gue."

Kumala mencebik. "Lagian kita beda arah. Udah deh, nggak usah sok-sokan mau anterin," ketusnya, seraya berjalan keluar kelas, mendahului Dewangga.

"Kita temenan dari SMP, tapi gue nggak tahu rumah lo di mana. Aneh nggak, sih?"

"Biasa aja."

Dewangga berdecak, mensejajarkan langkahnya dengan Kumala. "Gue perlu tau lah, kali aja ntar ada keperluan di luar jam sekolah."

Kumala tak mengindahkan modusnya Dewangga. Mereka memang sudah saling kenal sejak SMP. Hanya saja baru akrab sejak masuk SMA karena mereka sekelas. Kumala pun tak pernah membawa teman-temannya ke rumah, karena pasti nantinya ditanya soal keluarga ini itu.

"Jemputan lo mana?" tanya Dewangga sembari mengitari pandangan di sekitar, belum ada tanda-tanda orang berseragam supir menghampiri.

"Belum datang kayaknya." Kumala sibuk menatap layar smartphonenya dan mengetik pesan LINE kepada Pak Bambang, sopir yang biasa menjemput Kumala. "Lo duluan aja," sambung Kumala, agar Dewangga pulang lebih dulu.

"Udah mau gelap, biar lu ada temennya."

"Masih rame anak-anak di sini." Kumala menunjuk beberapa siswa yang juga masih berada di gerbang sekolah, mungkin sama-sama menunggu jemputan.

Seperti biasa, hari ini ada les tambahan, jadi pulangnya menjelang malam.

"Siapa tahu jemputan lu nggak jadi dateng, biar gue aja nganterin."

"Jadi kok, yang jemput Kak Juna malah."

Dewangga manggut-manggut, ia agak kedinginan lantaran angin sore mulai melibas kulitnya. Tiba-tiba ia jadi kepikiran satu hal.

"Ngomong-ngomong, lo sama kakak lo beneran saudara kandung?"

Pertanyaan Dewangga lantas membuat Kumala heran, sebelah alisnya naik seketika.

"Menurut ngana?" Kumala bertanya balik.

"Nggak ada mirip-miripnya," ujar Dewangga seraya mengamati Kumala yang tak mau menatapnya balik. "Kakak lo mukanya chinese banget, lo malah muka jawa banget."

"Wah, rasis."

"Yeee, bukan gitu. Emang beda mukanya."

"Karena enggak kembar."

Dewangga ketawa mendengar ucapan Kumala. Secara tak sadar, tangannya refleks bertumpu di atas bahu Kumala. Sementara Kumala tiba-tiba saja pikirannya berat. Ini nih pertanyaan yang susah dijawab. Bagaimana mengatakan kalau ia sebetulnya adik angkat Harjuna? Kakak adik ketemu gede.

"Ada tuh yang mirip tapi nggak saudaraan. Kayak lo sama Amanda." Kumala membalikkan topik.

"Gue sama Amanda, mirip? Idih!"

Kumala ketawa ketika Dewangga memutar bola matanya. "Kelakuannya mirip, mungkin jodoh."

Dewangga berdecak. "Kadang gue nggak ngerti sih sama tuh cewek, tiap gue ajak ngobrol, pasti diketusin. Emang gue salah apa coba?"

Hari sudah mulai gelap. Selagi menunggu jemputan, mereka berdua mengobrol tentang hal yang penting nggak penting. Sementara siswa lain sudah berpulangan.

"Kumala."

Di sela-sela obrolan juga tawa renyah, tiba-tiba ada suara lain memanggil Kumala. Keduanya spontan menoleh ke satu arah, tampak Harjuna baru saja turun dari mobilnya, masih mengenakan pakaian formal yang tak berantakan sedikitpun.

"Eh, jemputan Kuma udah dateng tuh," ujar Kumala kepada Dewangga seraya berjalan menuju arah Harjuna.

"Hampir aja Kumala aku anterin naik motor loh, Om." Dewangga ikut menghampiri, dan berbicara sekenanya.

Kening Harjuna seketika mengerut kala Dewangga memanggilnya dengan sebutan Om. Memangnya dia setua itu? Ia masih dua puluh enam tahun, baru melangkahi seperempat abad.

Dan Kumala malah menahan tawanya mendengar panggilan itu.

"Bahaya naik motor," kata Harjuna dingin.

"Saya tiap hari naik motor, nggak kenapa-napa tuh."

Kumala meringis dalam hati karena Dewangga masih juga melawan kata-kata Harjuna. Diiyakan saja apa susahnya sih?!

"Ya udah. Wa, Kuma pulang duluan ya."

Kumala langsung menarik Harjuna seraya melambaikan tangan ke arah Dewangga, dan dibalas oleh cowok itu.

"Pak Bambang ke mana emang?" tanya Kumala setelah mereka baru saja menaiki mobil Harjuna.

"Cuti dulu, jagain istrinya lagi sakit." Harjuna memasangkan sabuk pengaman Kumala.

"Padahal tadi Kuma bisa loh naik taksi, kalau misal Kak Juna masih sibuk kerja."

Perkataan Kumala hanya ditanggapi dengan deheman pelan. Kadang Harjuna tak mengerti tiap kali Kumala masih bersikap segan kepadanya. Mereka sudah tinggal bersa sekian tahun, tapi gadis itu selalu merasa dirinya merepotkan.

"Laper, nggak?" Harjuna bertanya, dengan pandangan tetap fokus ke arah jalanan.

Kumala mengangguk. "Banget."

"Kita makan di luar aja, ya."

"Pake gini?" Tanya Kumala seraya menunjuk dirinya sendiri yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, serta wajahnya yang sudah terlihat kusut.

"Emang kenapa?"

Pertanyaan santai Harjuna seketika membuat Kumala mendesah pelan. "Masih pake baju sekolah. Mana Kuma bau banget lagi, belum mandi."

"Ya nggak papa," jawab Harjuna. "Tapi emang sih, bau." Sambungnya sembari tertawa ringan.

Kumala menggerutu sebal. "Nanti jadi keliatan jalan sama om-om. Seengaknya kalau pakai baju biasa kan, Kuma nggak keliatan belia banget."

Harjuna lagi-lagi tergelak pelan. "Emang aku keliatan setua itu?"

"Mmm, nggak sih."

"Terus kenapa dikira om-om? Jangan niru-niru temen kamu itu kamu, ya."

"Namanya Dewangga, Kak."

"Oh. Kalian keliatan dekat. Tapi tetap jaga pergaulan, La," nasihat Harjuna layaknya dari bapak ke anak.

"Oke. Dewa mah orangnya baik, walaupun dia keliatan nakal gitu."

Harjuna manggut-manggut. Ia melirik sekilas Kumala yang sedikit menggigil di tempatnya.

"Nggak bawa jaket kamu?"

"Nggak."

Harjuna menghentikan mobilnya di pinggir jalan, yang mana membuat Kumala kebingungan. Ia kira mereka sudah sampai di restoran tempat mereka makan malam, namun nyatanya tidak.

"Nih pake."

Entah kapan Harjuna melepaskan jasnya, pria itu sudah menyelimuti Kumala dengan kain tebal itu.

"Kak Juna nggak kedinginan?"

"Lebih penting kamu."

Kumala mengangguk sembari tersenyum tipis dan memegang jas pria itu dengan erat. Pipinya memanas seketika dan jantungnya berdebar kencang. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering seperti ini tiap kali Harjuna memberikan perhatian kepadanya. Seperti ada yang tak biasa.

Bersambung...

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang