12. Karena Masa Lalu

4.2K 679 21
                                    

BAB 12

Sebuah kebetulan yang tak disangka-sangka, Kumala tiba-tiba saja bertemu dengan Dara. Wanita yang pernah ia temui di mall bersama Harjuna beberapa hari lalu. Kumala nyaris lupa akan wajah wanita itu, namun Dara langsung mengenalinya padahal mereka bertemu satu kali sebelumnya.

"Kamu Kumala, kan? Adiknya Harjuna?" Begitu jerit heboh Dara kala menyapa Kumala.

Mereka bertemu di salah satu kafe dekat sekolah Kumala. Ia tak sendiri di sana, bersama beberapa teman sekelasnya untuk belajar kelompok.

"Iya, Kak ..."

"Dara. Ih, masa lupa?!" Koreksi Dara kala Kumala lupa menyebutkan namanya.

Dalam hati Kumala meringis tak enak pada teman-teman sekelompoknya, karena nampaknya mereka agak terganggu dengan kehadiran Dara.

"Kamu bukannya pulang, kok malah main sih?!" ledek Dara, setengah bercanda.

"Enggak kok, ini lagi kerja kelompok sama teman-teman."

Dara ber-oh sambil manggut-manggut. Ia agaknya sedikit tersadar kalau mengganggu, terlihat dari beberapa reaksi teman-teman Kumala yang cuek bebek, seolah tak menyadari kehadirannya.

Setelah kerja kelompok selesai, Kumala dan teman-temannya sudah bergegas untuk pulang. Namun tak disangka, Dara lagi-lagi menghampiri Kumala ketika gadis itu baru saja keluar dari kafe. Sengaja menunggu kah?

"Hai, Ku. Mau pulang?"

"I-iya, Kak."

Kumala tak begitu gampang beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal.

"Dijemput?"

Kumala mengangguk. "Sama Kak Juna." Karena Pak Bambang masih cuti. Jadilah Juna yang selalu menjemput Kumala.

Mendengar ucapan Kumala, langsung saja Dara tersenyum penuh arti. Melihat itu, Kumala sudah mulai merasakan aura tak mengenakkan.

Tak berapa lama, suara klakson mobil mengagetkan keduanya. Sontak mereka menoleh ke arah yang sama, di sana tampak Harjuna di balik jendela mobil.

Kumala hampir saja pamit kepada Dara, namun nyatanya wanita itu malah lebih dulu berjalan menuju mobil Harjuna. Dara berbicara entah apa kepada Harjuna, dan sedetik kemudian Dara sudah membuka pintu mobil samping kemudi. Itu artinya Kumala harus duduk di belakang.

"Saya antar kamu pulang duluan." Harjuna berbicara kepada Dara.

"Kenapa kita nggak ke rumah kamu aja sekalian?"

"Mau ngapain sih?"

"Yaaah, biar aku tahu rumah kamu di mana."

Harjuna berdecak kecil, ia sempat melirik Kumala yang duduk tenang di jok belakang melalui kaca spionnya.

"Lain kali aja."

"Kenapa nggak sekarang aja?" Balas Dara keras kepala.

"Kamu memang begini, ya?"

"Begini apanya?"

"Banyak maunya, padahal bukan siapa-siapa."

Harjuna menumpahkan segala kekesalannya. Awalnya ia memang bersikap lunak kepada Dara karena orangtuanya meminta Harjuna untuk menjaga Dara selama ia di sini. Dara akan menetap di Jakarta, dan memulai bisnisnya di sini, dan mencoba hidup mandiri. Begitu, katanya. Sementara orang tuanya sudah kembali ke Kalimantan.

Tiba-tiba saja Dara tertawa geli sekaligus pahit. Memang sih, dia bukan siapa-siapa, tapi kan nantinya akan menjadi siapanya Harjuna.

"Kamu lupa ya sama perjodohan kita? Kamu juga yang bilang mau."

Harjuna menghembuskan napas panjang, tak menanggapi ucapan Dara yang mengingatkan perjodohan yang tak ia anggap serius. Pasti itu saja yang diungkit.

Sedangkan Kumala, sejak tadi diam sendiri di tempatnya. Jaga nyamuk.

***

Akhirnya Harjuna berhasil mengantar Dara lebih dulu, meskipun terus berdebat kalau wanita itu ingin sekali ke rumah Harjuna. Kini tinggallah Harjuna dan Kumala, baru sampai di rumah mereka.

"Kak Juna nggak ke kantor lagi?"

Mendengar pertanyaan Kumala, alis Harjuna lantas menaik sebelah. Ia meneguk air putih yang baru ia tuang ke gelas, sebelum bertanya, "emang kenapa? Kamu lebih suka aku di kantor ketimbang di rumah?"

"Bukan gitu. Biasanya kan Kak Juna pulang malam banget. Sekarang jadi cepat, apa karena jemput Kumala, jadinya cepat?"

"Harusnya kamu inget, aku tuh Bos di perusahaan. Bisa pulang kapan aja, kerja kapan aja. Bahkan bawa kerja ke rumah pun aku bisa."

Kumala terdiam sejenak memandangi Harjuna dengan mata berkedip-kedip. Kenapa laki-laki ini jadi sensitif begini sih. Tumben ngomongnya jadi ngegas gini sama Kumala.

"Oh, enak ya jadi bos. Kerjanya santai, kirain sibuk banget."

Harjuna mendesah berat mendengar ucapan Kumala. Menentukan jam kerja untuknya sendiri, bukan berarti Harjuna sesantai itu. Tapi percuma deh, jelasin ke Kumala yang masih pelajar. Belum paham dunia kerja. Lagipula jam lima begini, memang sudah waktunya pulang. Kalau Harjuna pulang kemalaman, itu karena dia sambil lembur.

***

"Kamu masak, La?"

Kumala tersentak ketika tiba-tiba saja Harjuna bersuara di belakangnya. Tangannya yang memegang spatula hampir saja melayang ke kepala pria itu, kalau ia tak ingat sopan santun. Bisa dihakimi dia kalau memukul orang yang lebih tua.

"Emang Kak Juna liatnya lagi ngapain?"

Harjuna terkekeh seraya mengacak-acak puncak kepala Kumala. Ia tahu, tapi malah bertanya lagi.

"Bik Siti nggak dateng, ya?"

Harjuna meraih handphonenya, hendak menelepon asisten di rumah mereka. Namun Kumala mencegahnya lebih dulu.

"Jangan ditelepon! Emang Kuma yang nyuruh Bik Siti libur dulu. Biar Kuma yang masak kali ini."

"Ooh, udah pinter masak sekarang, ya?"

"Udah dong. Kak Juna sih, pulangnya sering kemalaman, jadi nggak sempat makan masakan Kuma. Kali ini Kak Juna harus cobain."

"Penasaran seenak apa?"

Waktu yang dinanti pun tiba. Lebih dari setengah jam Kumala memasak makanan sederhana ala rumahan. Dari bentuknya cukup mengugah selera, ditambah lagi wanginya berhasil mengaduk liur di tenggorokan.

"Gimana?" tanya Kumala begitu Harjuna mencoba suapan pertama.

"Hmm, lumayan." Terakhir kali ia mencoba masakan Kumala--kalau tidak salah beberapa bulan lalu--rasanya keasinan. Namun sekarang sudah mengalami peningkatan.

"Lumayan doang nih, Kak?"

Harjuna mengangguk-angguk, lagi-lagi menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Udah bisa masuk masterchef."

"Ah, masa?"

"Tapi tereliminasi duluan."

Kumala mencebik kesal, Harjuna tertawa ringan. Ia memang suka sekali menggoda gadis remaja itu.

"Kamu kayaknya suka masak, mau jadi chef nanti?"

Pertanyaan Harjuna membuat Kumala lantas berpikir sejenak. "Emang kalau suka masak wajib jadi chef?" Pertanyaan balik Kumala malah ditanggapi Harjuna dengan mengangkat bahunya. "Kuma sih pengennya jadi jurnalis."

"Kenapa nggak dokter aja? Nilai IPA kamu kan bagus-bagus."

"Bagusnya teori doang, Kuma takut lihat darah malah."

Perkataan Kumala seketika membuat Harjuna terhenyak. Dari nada suara gadis itu, tersirat rasa pedih.

"Kenapa?"

"Darah ngingetin Kuma sama kakakku yang sudah meninggal," kata Kumala pahit. Ia mengangkat wajahnya agar air mata yang sudah menggantung di pelupuk mata tak jadi menetes ke pipi.

Sementara Harjuna, ia bingung harus apa. Kepalanya mendadak pening, rahangnya mengetat. Ia menunduk, menatap sisa makanan yang membuatnya tiba-tiba menjadi tak berselera lagi.

Bersambung...

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang