24. Semprot Teroosss

4.7K 792 64
                                    

Bab 24

"Harusnya kamu ngomong dari dulu kalau emang mau nyari ibu kamu, bukan main kabur gitu aja, La."

Kumala kira permasalahan sudah selesai damai-damai tadi malam, namun nyatanya Harjuna masih saja bersungut-sungut pagi ini. Laki-laki itu menyiapkan sarapan yang baru saja diantar oleh staf hotel.

"Iya, Kuma salah. Kuma minta maaf."

"Jangan anggap ini enteng. Kamu itu tanggung jawabku. Apalagi kamu pergi sampai sejauh ini, aku harusnya tahu. Apa salahnya sih, kamu ngomongin masalah ini dari dulu? Biar kita sama-sama cari ibu kamu. Kalau dari awal kamu terus terang pergi ke Hangzhou untuk mencari ibu, harusnya katakan saja dari awal, nggak mungkin aku nggak ijinin kamu pergi. Ini kamu malah bohong dan kabur jadinya kan."

Kumala hanya bisa menghela napas berat mendengar setiap omelan Harjuna yang entah kapan bisa mereda. Makin lama pria ini makin cerewet.

"Kenapa diam aja? Makan, Kumala."

"Iya."

Dengan hati-hati, Kumala akhirnya bergerak setelah ia jadi patung karena tak berkutik mendengar ceramah Harjuna. Takut kalau bergerak sedikit saja malah kena semprot lagi.

"Gimana kuliah kamu?" Setelah menyelesaikan makannya, Harjuna kembali bertanya.

"Semuanya lancar, Kak. Kak Juna tenang aja, Kuma belajarnya baik kok." ujar Kumala bersemangat, karena sepertinya emosi pria itu agak mereda.

Harjuna manggut-manggut, ia pandangi Kumala yang sibuk mengelap mulutnya dengan tisu. Penampilan gadis itu kini tampak semakin glowing, semakin terlihat sisi perempuannya ketimbang beberapa tahun lalu. Mungkin karena Kumala semakin dewasa, jadi sudah mulai memperhatikan penampilannya.

"Gimana sama finansial kamu selama ini? Kamu sampe kerja di Coffee shop, karena kamu kekurangan duit pasti, kan? Makanya kalau kamu dari dulu cerita pengen kuliah di sini, kasih tau sama aku. Segala kebutuhan kamu masih sanggup aku penuhi, nggak perlu sampe kerja sambil kuliah begitu. Jangan sampe ganggu kuliah kamu."

Kumala kira tadi sudah mereda, namun Harjuna masih lanjut marah-marahnya. Kumala sampai elus-elus dada mendengar rentetan kalimat Harjuna yang seperti tidak direm. Sabar, sabar ... Harjuna mungkin masih belum puas melampiaskan kekesalannya.

Akhirnya, Kumala hanya bisa diam sambil menganggukkan kepalanya, tidak bisa melawan omelan Harjuna yang nyaris membuat telinganya berdarah.

"Habis ini kamu ikut aku ke Jakarta. Pulang!"

Jika dari tadi Kumala hanya diam tak berkutik mendengar omelan Harjuna, kali ini matanya melotot tak suka dengan perintah kakak angkatnya yang satu ini.

"Terus kuliah aku gimana, Kak? Kuma udah semester akhir, dikit lagi. Masa harus berhenti gitu aja."

Harjuna berdecak, "Kapan bisa selesai?"

"Bulan november nanti mudah-mudahan bisa."

"Abis itu pulang."

Meski dengan sedikit ragu-ragu, Kumala mengangguk meskipun ia tidak tahu apakah nanti bisa kembali ke Jakarta atau tidak. Karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menemukan keberadaan ibunya.

***

"Kak Juna ke sini sendirian?" Sejak tadi pertanyaan ini selalu menghantui benak Kumala, karena ia penasaran Harjuna terbang ke sini tanpa membawa asistennya atau seseorang entah siapa lah itu, istrinya mungkin.

Harjuna yang tadinya fokus memandangi jalanan kota Hangzhou dari jendela taksi yang sekarang tengah mereka naiki–untuk mengantar Kumala kembali ke asrama–kini mengalihkan pandangannya ke arah Kumala.

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang