16. Tindakan Tak Terduga

5.3K 730 35
                                    

Tak ada yang terjadi setelah Kumala datang ke kantor Harjuna. Pria itu memang nampak tak suka dengan kehadirannya di sana, namun tidak juga memarahi Kumala. Harjuna memang tak pernah marah kepadanya. Ketika Kumala bertanya apa Harjuna tak suka kalau Kumala datang ke kantornya, pria itu menjawab takut kalau Kumala tak nyaman berada di sana. Betul, Kumala sedikit kurang nyaman ketika baru saja memasuki lobi, namun ia juga merasa justru Harjuna lah yang tak ingin Kumala ada di sana.

Lagipula Kumala memang tak berniat untuk datang ke sana lagi.

Suara pintu rumah terbuka, segera mengalihkan atensi Kumala yang sebelumnya asik menonton TV. Nampaklah Harjuna yang baru saja pulang.

"Loh, belum tidur, La?" tanya Harjuna seraya meletakkan tasnya di sofa kosong dan melepas dasinya.

Pertanyaan Harjuna refleks membuat Kumala melirik jam di dinding, ternyata sudah pukul sebelas malam.

"Kan malam minggu, nggak papa dong tidur lama," katanya seraya mengikuti pergerakan Harjuna yang sudah melempar dirinya sendiri di sebelah Kumala. "Kak Juna capek? Mau Kuma pijitin?" Karena nampaknya Harjuna kelelahan sekali, pria itu sudah menyandarkan tubuhnya dan seperti setengah berbaring.

Mendengar tawaran Kumala, Harjuna pun mengangguk. Ia memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis itu. Kumala lantas menggunakan kedua tangannya untuk memijit bahu Harjuna.

"Kencengin dikit, La. Nggak kerasa pijitannya."

"Gini?" Kumala semakin menambah kekuatan tangannya. Maklum, dia bukan tukang piit profesional, jadi jangan salahkan ia kalau pijitannya tidak terasa.

Kumala jadi teringat, terakhir kali ia memijit Harjuna beberapa tahun yang lalu. Ketika pria itu kecapekan begadang karena skripsi. Waktu itu Harjuna juga mengeluh karena pijitan Kumala lemah banget.

Setelah beberapa menit memijit bahu Harjuna dan pria itu tak lagi mengeluh lemahnya tangan Kumala, sekarang malah Kumala yang capek sendiri. Ia akhirnya menyudahi pijitannya sebelum diminta Harjuna.

"Udah?" tanya Harjuna heran karena tak dirasakan lagi tangan Kumala di bahunya.

"Tangan Kuma capek."

Harjuna terkekeh geli, ia lantas kembali memutar tubuhnya dan bersandar. Mereka berdua kompak sama-sama bersandar, seraya menonton sebuah film yang Kumala pilih secara random. Selama beberapa saat, tak ada satu pun yang bicara.

"Kumala..." Mendengar ia dipanggil, Kumala lantas menoleh ke arah Harjuna. "Pernah kangen sama bapak kamu, nggak?"

Pertanyaan Harjuna spontan membuat Kumala terkejut, tak menyangka pria ini akhirnya menanyakan hal ini setelah sekian tahun mereka menjadi kakak-adik.

"Bapak? Bapak yang mana?" tanya Kumala, dengan tersenyum miris.

Harjuna menoleh ke arah Kumala. Gadis itu memang sudah lupa sama bapaknya sendiri, atau pura-pura lupa? Biar bagaimana pun, Harjuna jadi merasa bersalah karena memisahkan Kumala dari bapaknya, karena kebodohannya sendiri. Harusnya ia tak perlu ikut campur sama urusan mereka, karena ia bukan siapa-siapa.

"Kuma nggak punya bapak," jawab Kumala lagi, suaranya sedikit bergetar.

Harjuna beringsut mendekati Kumala dan memeluk gadis itu. "Jangan ngomong gitu. Biar gimana pun, dia itu bapak kamu. Justru aku yang salah, malah bawa kamu jauh dari dia. Sorry."

"Tapi bener, dia bukan bapaknya Kuma. Dia orang yang ngebunuh kakak aku."

Ucapan Kumala seketika membuat Harjuna menelan ludah pahit. Nampak sorot kebencian di mata gadis itu ketika membicarakan bapaknya. Bagaimana kalau seandainya Kumala tahu fakta yang sebenarnya?

"Dia itu cuma preman yang mungut Kuma dan Kak Chandra di jalanan. Terus jadiin kami pengemis."

WHAT? Kenapa Harjuna baru tahu ini? Jadi betulan bukan bapaknya? Pantas saja kejam sekali. Dari dulu Harjuna memang menghindari bertanya-tanya soal bapak Kumala. Barulah ketika Kumala sudah sebesar ini, Harjuna mulai ingin membicarakannya. Karena sekarang waktunya, Kumala bisa diajak berdiskusi dengan baik.

"Pantesan, mana ada orang tua yang sekejam itu ke anaknya."

"Ada. Mamanya Kuma."

Lagi-lagi, Harjuna mengerutkan keningnya bingung. Ah, ia tak pernah tahu tentang mama Kumala.

"Mama kamu ke mana?"

"Mama minggat entah ke mana, ninggalin Kuma di jalanan."

Harjuna mendesah ngeri, membayangkan hidup Kumala sebelumnya. Ternyata lebih menderita dari yang ia bayangkan. Ditelantarkan mamanya, diculik preman dan kakaknya harus pergi untuk selamanya.

Dalam pelukan Harjuna, Kumala menumpahkan tangisnya. Gadis itu menangis mengingat masa lalunya yang kelam. Itu sebabnya, ia sangat sangat bersyukur dan merasa berhutang kepada Harjuna karena membawanya pergi meninggalkan masa lalunya. Tak bisa ia bayangkan kalau seandainya ia masih tinggal bersama preman yang mengaku-ngaku sebagai bapaknya.

"Udah, udah. Jangan nangis." Harjuna menenangkan gadis itu seraya mengusap-usap punggungnya. "Sekarang ada aku di sini. Aku bisa jadi mama kamu, kakak kamu, bahkan jadi bapak sekalian," kata Harjuna sembari terkekeh geli, berusaha menghibur gadis itu.

Kumala mengangkat wajahnya dari dada Harjuna. Gadis itu menatap kakak angkatnya dengan mata memerah, serta wajah yang sudah basah akibat air matanya. Tangan Harjuna mengusap air mata Kumala dan kembali menenangkan gadis itu.

"Gimana ... gimana kalau Kuma justru menganggap Kak Juna lebih dari itu?"

Pertanyaan Kumala membuat Harjuna tak mengerti. "Maksudnya?"

Hening sesaat. Kumala tak segera menjawab. Ia pandangi wajah Harjuna dengan seksama. Kalau dulu, Kumala menatap pria itu hanya sambil lalu. Namun sekarang, ia ingin memandang wajah itu lebih lama lagi. Di dekat Harjuna, Kumala tak mampu menenangkan debaran jantungnya. Mungkin ini yang disebut hormon remaja, di mana anak remaja mulai timbul rasa tertarik kepada orang lain. Well, Kumala ingin membuktikan.

Gadis itu mendekatkan wajahnya ke arah Harjuna, dan mencium pipi pria itu beberapa detik. Ia menutup matanya, tak siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bodoh, rutuknya dalam hati.

Bersambung....



TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang