17. Menjadi Berbeda

5K 705 59
                                    

BAB 17

Kumala merasa sudah tidak muka lagi sekarang. Setelah aksi tak terduganya, Harjuna langsung mendorong gadis itu dan pergi ke kamarnya langsung. Tinggallah Kumala sendirian, merutuki kebodohannya sendiri. Lagipula, kenapa dia sampai nekat begitu mencium Harjuna. Ditambah lagi ia masih remaja–yang belum genap tujuh belas tahun–yang tidak seharusnya melakukan itu. Amanda harus bertanggung jawab karena sudah meracuni Kumala dengan drama koreanya, di situlah Kumala pertama kali melihat adegan kissing. Yah, mungkin saja Kumala melakukan itu karena penasaran rasanya bagaimana. Tapi tetap saja, ia tak seharusnya melakukan itu. Arrrghh!

Tidak seperti minggu pagi yang sudah-sudah, Kumala tak melihat batang hidung Harjuna ketika ia baru saja keluar kamar. Dan tak seperti minggu pagi sebelumnya, Kumala keluar kamar lebih lama. Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Biasanya, Kumala tetap bangun pagi meskipun hari libur.

Kumala sedikit lega karena tak langsung bertemu Harjuna. Ia tak tahu ke mana perginya pria itu. Biasanya di jam segini pria itu sibuk bermain gim atau bahkan mengajak Kumala makan di luar.

Suara pintu rumah dibuka, membuat Kumala terkejut. Adalah Harjuna yang nampaknya baru saja jogging–terlihat dari pakaian yang ia kenakan. Pria itu berjalan memasuki kamar tanpa melihat ke arah Kumala.

Tuh kan, kenapa jadi canggung gini sih? Kalau saja Kumala nggak melakukan kebodohan semalam, mungkin Harjuna sudah bertanya basa-basi apa Kumala sudah masak atau tidak, atau bahkan Harjuna pasti langsung mengajaknya makan siang di luar.

Dengan sisa-sisa keberaniannya, Kumala berjalan menghampiri pintu kamar Harjuna. Baru saja ia mengetuk pintu itu, tiba-tiba Harjuna sudah membukanya. Membuat Kumala kaget setengah mati, bahkan sampai lupa menurunkan tangannya yang masih terangkat.

"Kenapa?" tanya Harjuna dingin. Kali ini pria itu seakan ingin menghindari menatap Kumala.

"Itu ... Kak Juna belum makan kan? Mau Kuma masakin apa?"

Biasanya hari minggu Bik Siti memang libur. Jadi urusan makanan, diatur oleh mereka berdua. Mau masak sendiri atau makan di luar.

"Makan di luar aja. Siap-siap."

"O-oke."

Setelah Harjuna menutup pintu kembali, Kumala menepuk dahinya sendiri. Berkali-kali menyesali perbuatannya tadi malam.

***
"Maafin Kuma. Semalam nggak bermaksud untuk--"

Kumala tidak berani melanjutkan kata-katanya. Dalam hati ia meringis ngeri mengingat kebodohannya semalam.

"Jangan begitu lagi," kata Harjuna, tanpa melihat ke arah Kumala. Ia lanjut menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Kita ini kakak-adek, inget?"

Padahal mereka bukan kandung, jadi Kumala rasa tidak ada yang salah jika mereka menjadi pasangan. Oh, tidak, tidak. Apa yang kau pikirkan, Kumala? Belum tentu ia mau bersamamu. Lihat, ia bahkan cemberut seharian ini gara-gara semalam.

"Kalau kamu lakuin itu karena suka sama aku ... lebih baik buang perasaan kamu itu jauh-jauh," kata Harjuna. Ini pertama kalinya ia bicara sedemikian dingin kepada Kumala.

Kumala mengangguk, menundukkan kepalanya tanpa berani melihat Harjuna. Benar, seharusnya ia buang saja perasaan ini. Ia sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Harjuna, masa ia mau meminta yang lebih?

Masih mengingat kejadian tadi malam, hal yang tak disangka-sangka oleh Harjuna, ia seketika berdecak sebal. Benar-benar menganggunya. Ia heran kenapa gadis enam belas tahun ini tiba-tiba saja menciumnya. Apalagi Kumala sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Ia kira Kumala adalah gadis polos yang hanya menyukai buku-buku, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan.

***
Sejak kejadian di malam minggu itu, komunikasi keduanya sedikit merenggang. Mereka jadi jarang mengobrol, bahkan bertemu juga jarang. Harjuna sering kali pulang larut malam, dan pergi ke kantor lebih awal dari biasanya. Biasanya mereka akan berangkat bersama dan duduk di jok belakang. Namun kali ini, Kumala sendirian. Harjuna mengendarai mobilnya sendiri.

Kejadian waktu itu sepertinya membuat pengaruh yang sangat besar. Hubungan mereka berubah 180 derajat, menjadi asing. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, lalu Kumala tidak melakukan hal bodoh itu, sudah pasti semuanya akan baik - baik saja seperti biasanya.

Ah sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.

"Taruh situ aja."

Kumala tersentak ketika mendengar suara Harjuna menyapa telinganya. Ia yang sejak tadi fokus memotong sayuran untuk makan malam, seketika atensinya beralih ke arah ruang tamu yang masih bisa dijangkau pandangan Kumala. Tumben sekali Harjuna pulang lebih awal, bersama ... Dara? Ia tak salah lihat?

Dara meletakkan paper bag ke atas meja. Wanita itu segera tersenyum lebar kala melihat Kumala berada di dapur. Kumala hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Harjuna langsung pergi ke dalam kamarnya tanpa melihat Kumala, membuat gadis itu lagi-lagi mendesah berat.

"Lagi masak apa, Ku?" Dara rupanya menghampiri Kumala dan menengok-nengok seisi dapur.

Kumala menunjukkan buncis dan wortel kepada Dara, yang akan ia campur menjadi satu.

"Aku bantuin, ya."

Awalnya Kumala meragukan kemampuan Dara dalam memasak, namun melihat wanita itu tak gemetar menggunakan pisau, nampaknya cukup meyakinkan. Kumala akhirnya mengambil tugas lain, yaitu mengiris bumbu-bumbunya.

Kumala masih bingung bagaimana Dara akhirnya bisa sampai di sini. Maksudnya, Harjuna tidak pernah membawa tamu ke sini. Well, kalau Adam, itu karena tamu yang memaksa datang. Apa Dara juga yang memaksa Harjuna untuk datang ke sini. Kan wanita itu pemaksa.

"Aww!" Tanpa sadar Kumala mengiris jari telunjuknya, membuat ia meringis pedih.

"Ya ampun, pelan-pelan dong, Ku. Coba bersihin pake air, terus kasih hansaplas."

Tanpa diberitahu Dara juga Kumala sudah tahu apa yang dilakukan. Sialan, ini pasti karena melamun tadi.

***
Terdengar decakan pelan dari Harjuna ketika melihat jari telunjuk Kumala dilapisi sebuah plester luka. Namun ia tak bertanya lebih jauh. Ia kembali sibuk menyuapi makanan ke dalam mulutnya.

Dara yang suka sekali berbicara, membuat ruangan menjadi agak ramai. Bahkan di sela-sela makan pun, cerita wanita itu masih bagaikan rel kereta api. Dan Harjuna tidak tahu entah apa saja yang dibicarakan Dara.

Sama seperti diamnya Harjuna, Kumala sejak tadi menunduk. Ia menjadi tak punya kemampuan untuk berhadapan dengan Harjuna. Begitu sesi makan malam selesai, Kumala langsung buru-buru masuk ke kamarnya.

Berkali-kali Kumala ingin memfokuskan dirinya dengan buku pelajaran di hadapannya. Namun ia tak bisa berkonsentrasi sedikitpun. Ia terus mencari cara bagaimana agar komunikasinya dengan Harjuna kembali seperti dulu. Harjuna yang lembut, perhatian, dan suka mengajak Kumala bicara. Biasanya Harjuna akan mengomelinya tiap kali melihat Kumala terluka sedikitpun, tapi kali ini beda.

Kumala menutup bukunya, karena percuma ia memaksakan diri kalau fokusnya tidak di situ. Mungkin berselancar di sosial media atau chatingan dengan Amanda akan membuat perasaannya sedikit membaik. Yah, semoga.

Ia mencari-cari ponsel pintarnya, yang sayangnya tak kelihatan. Ah, ia baru ingat kalau ponselnya masih tertinggal di meja dapur tadi. Kumala menarik napas sebelum akhirnya ia memberanikan diri membuka pintu kamarnya, karena ia masih malu bertemu dengan Harjuna. Baru saja dua langkah keluar kamar, Kumala terperanjat kala melihat sesuatu yang harusnya tak ia lihat.

Di sana, di sofa ruang tamu, Harjuna dan Dara tengah bercumbu mesra. Kumala syok, tak mengira akan melihat ini langsung. Ia hendak mundur kembali memasuki kamar, namun keberadaannya tertangkap oleh iris mata Harjuna. Menatapnya dengan tajam, sementara pria itu tak menghentikan kegiatannya dengan Dara.

Bersambung....

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang