9. Rencana Perjodohan

4.8K 728 10
                                    

BAB 9

"Nanti jangan bikin kacau lagi."

Harjuna berdeham pelan menanggapi ucapan Handika, ayahnya. Kemudian mengikuti pria paruh baya itu memasuki restoran. Tepat di meja tujuan mereka, sudah duduk seorang pria yang nampaknya seumuran dengan ayahnya, seorang wanita yang mungkin istrinya dan seorang lagi ... perempuan muda yang tampak cantik.

"Maaf, datangnya lama." Begitu ucapan basa-basi Handika setelah sampai di meja, kemudian disambut dengan tawa khas orang kaya.

Harjuna mendengus dalam hati ketika melihat interaksi mereka semua, yang terkesan memuakkan. Ia kira ini akan jadi makan malam untuk bisnis, namun tampaknya akan menambahi topik lain juga.

"Jadi, ini Harjuna, ya?" Tanya perempuan paruh baya dengan gaya rambutnya yang diatur menyerupai sanggul. Well, mungkin memang sanggul betulan.

Harjuna berdiri dan mengulurkan tangan kepada tiga orang di depannya dengan sopan, sebagai tanda perkenalan.

Ternyata pria paruh baya yang menjadi teman makan malam mereka ini adalah sahabat ayahnya sejak kuliah dulu. Pengusaha sawit yang sangat sukses di Kalimantan. Sementara perempuan muda yang duduk di sebelahnya adalah putri mereka, namanya Dara.

Obrolan mereka berjalan mulai dari mengenang masa lalu, kemudian membicarakan perkembangan perusahaan masing-masing. Tentu saja yang bicara hanya para orang tua, sementara Harjuna lebih banyak diam, kadang-kadang akan menjawab singkat ketika ditanya. Beberapa kali bola matanya menangkap Dara yang selalu senyum tiap kali ikut membalas tatapan Harjuna.

"Gimana, Harjuna?"

Harjuna yang tadinya tidak mengikuti pembicaraan para orang tua, bahkan tidak tahu topiknya entah sampai mana, tiba-tiba ditanya hal yang Harjuna tak tahu. Gimana apanya?

Namun demi menjaga kesan wibawa, Harjuna akhirnya menjawab, "boleh juga," katanya, padahal tidak tahu entah boleh karena apa.

Harjuna makin dibuat kebingungan ketika semua orang di sana--kecuali dirinya--seketika tersenyum lebar, seakan merasa puas dengan jawaban Harjuna.

"Wah, tampaknya Harjuna juga tertarik nih sama Dara."

"Siapa sih yang bisa menolak pesona anak saya? Cantik begini, mana mungkin Harjuna nggak suka."

Gimana? Harjuna bingung sumpah. Padahal dia tidak bilang kalau dia tertarik sama Dara, seperti yang dikatakan ayah perempuan itu tadi.

"Berarti untuk pernikahannya bisa lancar lah nanti."

Kali ini Handika yang bicara, membuat Harjuna seketika menoleh ke samping dengan sebelah alisnya menaik, makin tidak mengerti. Pernikahan apanya? Wait, jadi tadi mereka membicarakan perjodohan? Ah, apa lagi ini?

Harjuna sekali lagi menengok Dara yang kini wajahnya makin berseri. Ia pun mendengus pelan, diam dan tak berani mengusik kesenangan mereka semua. Pembicaraan pernikahan ini masih sekedar rencana, bisa jadi besok-besok malah jadi bubar.

***

Harjuna menghadiahi sebuah smartphone, yang saat ini banyak digandrungi anak muda. Tidak hanya anak muda sebetulnya, tapi juga para orangtua bahkan anak kecil pun tengah menggemari gadget yang sedang naik daun itu. Kumala bahkan sudah membuat beberapa akun sosial media berkat bantuan Harjuna dan teman-temannya. Memang, di jaman serba canggih ini, Kumala agak gaptek karena selama ini tak begitu peduli soal gadget. Di saat teman-temannya sudah memiliki handphone canggih, Kumala justru menginginkan handphone tuninut yang hanya bisa pakai radio. Ia cuma mikirin nilai sekolah. Tahu-tahu begitu dikasih smartphone berlogo apel digigit, ia lumayan suka mengutak-atik berbagai aplikasi di sana.

"Tidur, La. Jangan hape terus."

Kumala tersentak ketika tiba-tiba saja kepalanya terasa dielus dan suara seseorang menangkap pendengarannya. Ia lantas menoleh ke belakang, di sana ada Harjuna yang sudah melepaskan jas kerjanya. Kemudian Kumala menyengir tanpa dosa lantaran belum juga tidur, padahal sudah lewat jam sepuluh.

"Kan besok nggak sekolah, jadi nggak papa dong tidur lama," kata Kumala seraya kembali memusatkan atensinya pada telepon pintarnya. "Sekalian nungguin Kak Juna pulang."

"Ngapain nungguin?"

Kumala lantas balik menatap Harjuna yang kini sudah duduk di sebelahnya. "Katanya mau bawa martabak. Mana?"

Detik itu pula, Harjuna menepuk jidatnya sendiri. "Astaga, lupa."

Kumala mengerucutkan bibirnya, sedikit kecewa karena baru kali ini Harjuna lupa bawa pesanan Kumala.

"Ya udah deh," gumam Kumala, seakan tak terlalu mempermasalahkan hal itu, meski sebenarnya ia lagi kepengen sekali makan martabak.

Harjuna tersenyum melihat raut kecewa Kumala, lantas mengeluarkan tas kertas yang ia bawa tadi. Memang Kumala nggak lihat apa Harjuna bawa paper bag ini?

"Bawa kok bawa. Mukanya nggak usah sedih gitu. Nih!" Harjuna menyodorkan paper bag berisi martabak pesanan Kumala tepat di depan gadis itu.

Kumala yang tadinya murung seketika berbinar ceria, dan menyambar bungkusan itu sebelum ditarik lagi.

Melihat Kumala yang kini sudah melahap martabak manis, membuat Harjuna tersenyum seraya mengusap belakang kepala gadis itu.

"Gimana tadi makan malamnya sama om Handika?" tanya Kumala seraya mengunyah martabaknya.

"Ya gitu. Biasa aja."

Kumala hanya ber-oh pelan. Sudah ia duga, pasti makan malam dengan kolega bisnis cukup membosankan.

"Oh iya, Kak Juna punya instagram, nggak?" tanya Kumala seraya mengambil kembali handphone yang tadi ia letakkan di meja.

Sebelah alis Harjuna menaik kala mendengar pertanyaan Kumala. Pertanyaan ini sudah tidak asing terdengar di jaman sekarang.

"Nggak, nggak suka foto-foto soalnya," jawabnya dengan kekehan geli.

"Yaaah, padahal biar kita bisa follow-followan sih."

"Emang follower kamu udah berapa?"

"Baru enam belas. Yang ngefollow cuma teman-teman sekolahan sih."

Harjuna mengangguk. "Nanti aku bikin instagram deh, biar follower kamu nambah."

Mendengar itu, Kumala malah ketawa. Begitu pun Harjuna.

"Tapi jangan terlalu kecanduan juga loh, La, sama handphone. Inget belajar."

"Siap, bos." Kata Kumala mantap. Lagipula ini masih masa libur semester, jadi tak ada salahnya ia memanjakn diri dengan ponsel pintar barunya.

Sebetulnya Harjuna tak terlalu menginginkan Kumala belajar terlalu keras sampai harus mendapat ranking atas. Mendapat nilai biasa-biasa saja pun tidak apa. Kumala mendapatkan pendidikan yang layak sudah menjadi suatu kebanggan bagi Harjuna.

Bersambung....

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang