Pada akhirnya, Harjuna menyewakan sebuah apartmen yang cukup luas untuk Kumala. Tadinya Kumala hanya ingin meminta sebuah kos-kosan saja agar lebih murah. Namun Harjuna menolak dengan alasan ia akan sesekali datang berkunjung ke apartmen.
"Gimana, Shak?" Harjuna tampak sedang berbicara melalui telepon dengan seseorang. "Ya, kirim langsung ke saya, ya. Hm, saya tunggu." Ia lantas mematikan ponselnya begitu pembicaraannya sudah selesai.
Kumala langsung mengalihkan tatapannya ke arah makanan di depannya karena tadi sempat memandangi Harjuna yang sedang menelepon sejak tadi. Laki-laki itu baru saja selesai mandi, masih mengenakan bathrobe. Tadi ponsel Harjuna memang sudah beberapa kali berdering selama ia mandi, karena terlalu berisik, Kumala sampai-sampai harus memanggil kakak angkatnya itu agar buru-buru menyelesaikan mandinya yang kelewat lama, bahkan lebih lama dari durasi mandinya Kumala.
"Jam berapa kamu berangkat kuliah, La?" tanya Harjuna langsung duduk–tanpa mengganti bathrobenya–dan memakan pancake yang menjadi sarapan mereka.
"Sejam lagi, Kak," jawab Kumala sembari melirik jam di tangannya. "Kak Juna kapan balik ke Jakarta?" Ia balik bertanya. Bukannya apa-apa, tapi Harjuna sudah hampir seminggu di Hangzhou, takutnya akan merasa kebosanan karena selalu berada di apartmen dan melakukan pekerjaannya dari jarak jauh.
"Kenapa? Kamu pengen banget aku cepat-cepat pergi?"
Kumala melotot karena Harjuna bukannya menjawab, tapi malah bertanya dengan menyindir.
"Bukan gitu. Kan Kak Juna masih punya kerjaan di Jakarta, nggak mungkin dong ditinggalin lama-lama. Ya nggak?" Kumala mengelak. "Nggak bosan apa di sini terus kurang kerjaan?"
"Aku bukan kurang kerjaan ya, Kumala. Di sini aku juga masih bisa kerja lewat online. Kamu ini masih kecil udah ngatur-ngatur yang lebih tua. Tau apa sih kamu soal gimana aku nge-handle kerjaan aku."
Kumala mengangguk-angguk saja tak berani melawan, dengan ekspresi wajah iyain aja biar cepat. Padahal dalam hatinya sudah misuh-misuh menirukan ucapan Harjuna dengan mengganti semua huruf vokalnya menjadi huruf i. Tii ipi sih kimi siil gimini aki ngihindil kirjiin iki.
"Besok hari minggu nggak kuliah kan kamu?" Pertanyaan Harjuna diangguki oleh Kumala. "Good. Sebelum aku balik ke Jakarta, kita jalan-jalan dulu. Aku pengen cari udara segar gara-gara tenagaku abis buat marah-marah ke kamu. Jujur sih, aku itu masih kesal sama kamu, Kumala."
Kumala kembali merengut ketika mendengar ucapan Harjuna. "Kan Kuma udah minta maaf. Jangan marah lagi dong, Kak Harjunaku yang tertampan sedunia," katanya seraya memajukan badannya agar semakin mendekat ke arah Harjuna, memasang wajah imutnya seraya mengedip-ngedipkan mata, seakan tengah merayu pria itu agar tidak lagi marah.
Namun tanpa diduga, Harjuna malah ikut memajukan kepalanya sehingga hanya tersisa jarak sejengkal di antara mereka. Pria itu menyunggingkan senyum miringnya. Kumala hendak memundurkan kepalanya, namun gagal karena Harjuna tiba-tiba saja menarik tengkuk gadis itu agar tetap diam di tempat.
"Janji nggak bakalan mengulang hal yang sama lagi? Jangan ada kabur-kaburan lagi. Janji nggak bikin kecewa lagi?"
Kumala yang ditatap sebegitu intens dengan jarak yang terlalu dekat, membuat jantungnya berdetak tak karuan, sampai-sampai ia berusaha menghentikan debaran jantungnya takut kalau Harjuna bisa mendengarnya.
"K-kuma janji nggak bakalan terulang lagi," katanya dengan sedikit gugup. Sialnya, ia malah salah fokus pada bibir merekah Harjuna yang masih menyunggingkan senyum miring.
Kumala berusaha untuk menarik kepalanya dari tangan Harjuna yang masih mengunci belakang lehernya, namun pria itu tetap tak mau melepaskan. Hening beberapa saat justru digunakan Harjuna untuk terus memandangi Kumala dalam-dalam, sementara gadis itu berusaha untuk melarikan pandangannya ke arah yang lain. Jujur, ia tak sanggup dengan posisi ini. Justru akan menghadirkan kembali perasaan yang sudah lama ingin ia buang saja.
"Kalau dilihat-lihat kamu makin cantik ya, La. Udah pacaran kamu?" ujar Harjuna yang langsung membuat wajah Kumala memanas, sekaligus ia bertanya dengan nada menuduh.
"Enggak, Kuma nggak ada pacar."
"Bohong."
"Beneran. Kuma nggak ada pacaran."
"Biasanya tanda-tanda cewek pacaran itu kayak kamu nih. Alisnya kamu apain nih sampe berbentuk kek gini? Dulu nggak begini perasaan." Harjuna mengusap alis Kumala yang nampak lebih rapi dan kekinian, padahal dulunya lumayan tebal. Pas diusap ternyata ada sedikit bekas pensil alis menempel di ibu jari Harjuna. "Tuh kan, kamu pakai pensil alis. Terus ini kamu pake perona pipi nih pasti. Kenapa pipi kamu merah?" lanjutnya seraya mengusap-usap kedua pipi Kumala, namun tak ada bekas kemerahan di jarinya.
"Kak Juna apa-apaan sih. Rese bener." Kumala yang kesal berhasil melepaskan dirinya dari Harjuna. Ia menyentuh pipinya yang tadi diusap-usap Harjuna. Mana ada dia perona pipi, itu betulan memang merah betulan karena kepanasan. Ah sial, kenapa sih laki-laki ini bikin resah aja?
"Lagi apa salahnya sih kalau Kuma dandan? Kuma dandan bukan buat cowok apalagi pacaran? Kak Juna nih aneh bener dah."
Harjuna malah tertawa renyah. "Ah ya bener?" Nadanya terdengar seakan menggoda Kumala.
"Lagian Kuma kan udah dewasa, nggak papa dong kalau pacaran."
Mendengar ucapan Kumala, Harjuna seketika membuat cengiran di bibirnya langsung memudar. "Gak usah gaya-gayaan deh kamu mau pacaran. Mental kamu belum cukup sampe ke situ. Usia kamu aja yang dewasa, tapi mental kamu kayak kerupuk. Sekali diremas langsung rapuh."
Kumala merengut tak suka karena Harjuna meremehkannya. "Kak Juna nggak usah anggap remeh sama Kuma ya."
"Loh, itu bener loh." Harjuna yang tadi menyandarkan punggungnya ke kursi kembali memangku kedua tangannya di atas meja. "Kalau kamu dapatnya laki-laki yang nggak bener, kamu bisa dimacem-macemin loh. Apalagi kalau dengan alasan sudah dewasa, makin berani deh tuh laki-laki. Jangankan laki-laki yang nggak bener, laki-laki yang masih keliatan bener aja, nggak bisa kendaliin nafsunya."
"Kuma nggak bakalan gitu, jamin deh. Kuma bisa jaga diri Kuma baik-baik."
"Ya mungkin kamu udah seberusaha itu menjaga diri kamu sendiri, tapi gimana kalau laki-laki itu nggak bisa jaga kamu?" decak Harjuna yang masih saja keras kepala. "Kamu ini dibilangin jangan ngeyel, aku yang lebih dulu mengalami daripada kamu."
Mendengar ucapan Harjuna yang agak ambigu membuat Kumala berpikir sejenak. Mengalami? Maksudnya?
"Mengalami gimana maksudnya?" tanya Kumala, sembari mencondongkan kepalanya ke arah Harjuna.
"Maksudnya mengalami masa-masa pacaran. Emang kamu mikirnya apa?"
"Ooooh, berarti Kak Juna juga sama aja kayak cowok-cowok lain."
Eh?
Harjuna diam sejenak memandangi Kumala seraya menghela napas. "Hm. Makanya udah aku bilangin, cowok baik-baik kayak aku aja masih mau macem-macem. Harusnya kamu hati-hati."
"Emang Kak Juna kalo pacaran ngapain aja?"
Astaga pertanyaan apa lagi itu? Harjuna memijit keningnya yang mendadak terasa pusing. Kenapa obrolan ini makin melebar ke mana-mana.
"Kamu nggak perlu tahu." Harjuna menggeleng-gelengkan kepalanya, entah gadis itu terlalu polos atau memang sengaja ingin membuatnya semakin kesal. "Pokoknya kalau kamu pacaran, jangan mau disentuh-sentuh, dicium apalagi sampai disuruh nginap di tempatnya."
"Berarti Kuma boleh dong pacaran."
"Emang ada yang mau sama kamu?"
"Wah, Kak Juna jangan salah. Justru banyak yang udah Kuma tolak, sekarang masih banyak yang ngantri." ujar Kumala dengan nada bercandanya karena dianggap remeh. Kuma cantik, imut, gemesin, sudah pasti ada yang suka sama Kumala.
"Dasar bocah!" Harjuna tersenyum kecil dan mengacak puncak kepala Kumala dengan gemas.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TERIKAT
Romance[status: revisi, re-publish, on going] Harjuna Mahendra punya kesalahan yang sangat besar kepada Kumalasari. Kesalahan yang mungkin tak 'kan bisa termaafkan, membuatnya seringkali mimpi buruk akan hal itu. Dengan kesediaannya, ia pun mengurus segala...