Chapter 9: Life as Prey (2)

2K 359 9
                                    

Tanpa Sehun sadari, waktu tiga hari telah berlalu.

Ia sama sekali tidak berpaling dari pekerjaannya dan hanya berkutat dengan urusan pemerintahan di dalam ruangannya. Beruntungnya, karena penyakit aneh yang menginfeksi keturunan bangsawan secara turun-temurun itu, ia jadi memiliki kemampuan bekerja melebihi batas kemampuan manusia normal. Sehingga mengatur pemerintahan seorang diri bukanlah pekerjaan yang sulit baginya.

"Baginda raja, ini aku."

Terdengar suara ketukan pintu dan seruan seorang wanita dari luar ruangan. Sehun tahu siapa pemilik suara yang lembut itu.

"Masuklah, Yoona."

Setelah diizinkan, pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok wanita cantik berpenampilan anggun. Dengan senyuman yang selalu terpatri di bibirnya, ia lebih terlihat seperti sosok bidadari dibandingan vampir.

"Anda sama sekali tidak keluar dari ruang kerja. Apa tidak lelah?"

Permaisuri Yoona melangkah mendekati Sehun, lalu merengkuh leher suaminya dari belakang. Sehun menghela napasnya. Ia mengelus pelan tangan ramping Yoona yang melingkar di lehernya.

"Tentu saja aku kelelahan." Sehun memejamkan matanya.

"Anda sama sekali tidak mengunjungi saya. Padahal kamar kita berdekatan."

Sehun tersenyum tipis.

"Bilang saja kalau kau merindukan aku."

Yoona tertawa kecil. Dalam hatinya, ia merasa yakin kalau perasaan Sehun tidak akan pernah berubah padanya. Meskipun pria itu menambah jumlah selirnya sampai sebanyak apapun, Yoona tetaplah menjadi nomor satu. Itulah mengapa, di saat selir lain merasa marah atas kedatangan Jihwa, permaisuri itu tetap tenang di posisinya.

"Ya. Aku merindukanmu." Yoona mengecup kening Sehun. "Oh iya, bagaimana hubungan anda dengan selir keenam?"

"Yoon Jihwa? Sudah lama aku tidak mengunjungi anak itu."

Yoona tersenyum.

"Kudengar usianya masih 17 tahun. Seumuran dengan Heeseung. Anda harus lebih lembut ketika berhubungan intim dengan gadis di bawah umur."

"Asalkan dia tidak stress dan imun tubuhnya menurun saja." Ujar Sehun. "Aku hanya ingin dia tetap sehat agar mampu menyediakan darah dengan rutin."

Yoona menyandarkan dagunya di atas kepala Sehun. Sang raja sendiri merasa nyaman diperlakukan oleh permaisurinya seperti itu. Hanya Yoonalah satu-satunya yang mampu membuatnya merasa nyaman dan menjadi dirinya sendiri.

"Kau juga jaga kesehatanmu, Yoona. Kau tidak perlu terlalu memikirkan para selir. Cukup aku yang mengurus mereka."

~~~~~~~

Di siang hari, akademi khusus bangsawan yang berdekatan dengan istana kedua mulai padat oleh kehadiran keenam pangeran. Mereka tampak fokus mengikuti pelajaran, kecuali Jake yang tengah menguap karena merasa bosan. Ia hanya menatap kosong papan tulis yang penuh dengan materi, sementara pikirannya tidak berfokus kesana.

"Baik, sekian pelajaran dari saya. Silahkan menyiapkan diri untuk pelajaran hukum."

Pengajar yang sudah memberikan materi selama 2 jam pun menutup sesi belajar, lalu pergi meninggalkan ruangan. Keenam pemuda itu akhirnya bisa bernapas lega.

"Ah, bosan!" Niki, si pangeran bungsu meletakkan buku pelajarnnya dengan kasar.

"Jangan mengeluh terus. Bukankah kau ingin jadi penerus raja? Kalau begini saja sudah tidak mampu, bagaimana kau bisa menyaingi anak ambisius yang ada di pojok sana?"

Sunoo si pangeran kelima menunjuk Jay yang duduk di bangku paling sudut dengan dagunya.

Niki mendengus kesal. "Bagaimana bisa dia belajar terus tanpa kenal lelah? Belum lagi dia mengurus semua urusan di istana kedua."

Jungwon yang duduk di depan Niki berbalik menghadap sang adik, lalu menyentil dahinya.

"Itu berarti tekadnya lebih kuat daripada kau."

Niki meringis kesakitan seraya mengelus dahinya. Sentilan Jungwon memang sangat menyakitkan.

Di sisi lain, Jay yang merasa sedang jadi bahan pembicaraan melirik ke arah mereka bertiga. Ia tersenyum tipis melihat betapa ambisiusnya si bungsu untuk naik takhta.

"Setidaknya mereka tidak minder karena posisi Heeseung hyung."

Jay menoleh ke arah Sunghoon yang tiba-tiba berujar. Seolah pemuda itu mampu membaca pikiran Jay.

"Ya. Syukurlah."

Di tengah Jay dan Sunghoon, ada Jake yang sedang mendengus kesal. Ia membuang pena yang sedari tadi ia mainkan di jemarinya.

"Ah, bosan sekali. Aku ingin pergi ke tempat selir Jihwa!" Pekiknya.

Seluruh mata pun tertuju ke arah Jake.

"Hei, kau pikir kau ini siapa? Seenaknya keluar masuk ke kamar selir raja." Tegur Jay.

"Kenapa? Sama seperti ibu kalian, dia juga ibu tiriku. Apa aku tidak boleh menyapanya?"

Belum sempat Jay memarahi Jake, Niki yang duduknya berjauhan dengan mereka langsung mengerumuni Jay, Jake, dan Sunghoon.

"Kau menemui rakyat jelata itu?" Tanya Niki. "Apa darahnya benar-benar seenak itu sampai ayah rela menikahinya?"

Jake tersenyum miring. Ia menjilat bibirnya sendiri. Membayangkan bagaimana aroma darah Jihwa yang manis menyapa indera penciumannya.

"Begitulah. Hanya dengan mencium baunya, aku sudah tahu kalau darahnya enak."

Niki menyeringai. Sebuah ide terlintas di otaknya.

"Bagaimana kalau aku juga mencicipinya diam-diam? Jendela kamarnya selalu terbuka kan?"

"Nope. Dia mangsaku." Tegas Jake. "Tinggal menunggu waktu sampai gadis itu melirikku."

Jay menghela napas melihat kedua saudaranya yang meributkan soal selir keenam.

"Hentikan. Seperti yang kau bilang, Jake. Dia juga ibu tiri kita. Jadi, hormati dia layaknya selir lainnya."

Niki dan Jake menatap Jay dengan heran. Jake menangkap sesuatu yang tidak biasa dari Jay. Ia lalu tersenyum miring.

"Kenapa, Jay? Jangan bilang kau menaruh hati kepada ternak itu."

Jay mengernyit heran.

"Kesimpulan macam apa itu? Masuk akal kah menaruh hati pada orang yang bahkan tidak aku kenal?"

"Memangnya perasaan bisa dilogika? Lihatlah Sunghoon hyung. Dia adalah bukti kalau cinta tidak punya logika." Imbuh Niki.

Jake segera menjitak kepala Niki. Namun, sayangnya suasana hati Sunghoon sudah terlanjur memburuk. Jay mulai pusing menghadapi suasana yang runyam di antara mereka. Kenapa topiknya menjadi mengarah ke hal yang sensitif seperti ini?

"Sudah. Itu cuma masa lalu. Lagipula, apa yang kalian lakukan? Siapkan materi untuk pelajaran selanjutnya!" Seru Jay.

Niki dan Jake yang juga merasa atmosfer di antara mereka menjadi kurang nyaman pun menghentikan pembicaraan mereka. Tak lama kemudian, pembimbing mereka datang memasuki kelas. Jay masih kepikiran dengan ucapan Jake dan Niki. Tuduhan mereka memang sangat konyol. Jay bahkan hanya bertemu dua kali secara langsung dengan Jihwa. Bagaimana bisa itu disebut cinta? Jay hanya tergerak untuk menolongnya karena sejak kecil ia memang terbiasa memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain. Sehingga, Jay terbiasa mengulurkan tangannya untuk membantu yang membutuhkan.

Jay yakin penyebabnya hanya itu, dan tidak lebih.

"Bodoh memang." Gumam Jay.



Beast Land || Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang