Chapter 6: Life as Prey

2.1K 376 5
                                    

"Melelahkan sekali ...."

Jihwa terbaring di ranjangnya dengan pakaian yang berantakan, terutama kerah gaun tidurnya yang terbuka lebar. Di lehernya, terdapat bekas gigitan dengan darah yang masih menetes keluar. Sudah seminggu lamanya Jihwa tinggal di istana utama. Sehun hari ini kembali mengunjunginya untuk meminta jatah darah yang harus diberikan sebanyak dua kali seminggu. Setelah sang raja selesai dengan urusannya dan pergi dari kamar, Jihwa menghabiskan waktunya dengan berbaring di ranjang. Tidak seperti dirinya yang selalu aktif melakukan kegiatan di luar rumah. Lagipula, apa yang harus ia lakukan di istana ini? Meskipun resmi menjadi selir, tak jarang orang-orang di istana seperti pelayan mendiskriminasinya karena berasal dari kalangan rakyat jelata. Pergerakannya pun selalu diawasi karena raja memberikan perintah kepada para pengawal.

Hidup dengan penuh kekangan seperti ini benar-benar menekan Jihwa yang terbiasa hidup bebas.

"Nona, makan siang sudah siap."

Belum sempat Jihwa merespon, seorang pelayan perempuan datang dengan membawa nampan berisi makanan. Wanita itu lalu meletakkannya dengan kasar di meja nakas Jihwa, membuat Jihwa tersentak kaget dan segera bangkit untuk menutup kembali gaun tidurnya yang terbuka.

"Anda tidak tahu bagaimana caranya mengetuk pintu?" Tegur Jihwa.

Wanita yang lebih tua darinya itu tersenyum meremehkan.

"Berterima kasihlah. Setidaknya aku tidak membiarkanmu kelaparan."

Jihwa menghela napas jengah.

"Bagaimana bisa anda membiarkan aku mati kelaparan? Sedangkan raja saja membutuhkan darahku."

Wanita itu berdecih karena Jihwa mampu membalas kata-katanya.

"Mungkin sekarang raja membutuhkanmu. Tapi, tidak menutup kemungkinan kalau raja akan membuangmu jika beliau mendapatkan banyak orang yang memiliki darah seenak punyamu."

Setelah memprovokasi Jihwa, si pelayan wanita berjalan menuju pintu keluar dan menutupnya dengan kasar. Jihwa terdiam sejenak. Sebuah senyuman terukir di bibirnya saat membayangkan jika ucapan pelayan itu benar-benar terjadi.

"Bukankah itu bagus? Aku akan bebas dari sini."

Jihwa bangkit dari ranjangnya. Mengabaikan makanan yang tersedia di atas meja hanya demi melihat pemandangan di luar jendela. Biasanya, di pagi hari seperti ini, ia akan pergi ke panti asuhan atau ke tempat di mana anak-anak berkumpul untuk mengajari mereka. Jihwa rindu saat-saat di mana ia masih bisa hidup bebas, meskipun terkadang merasa kesepian karena sang ayah sudah tidak ada di sisinya lagi. Sekarang, pemandangan yang bisa ia lihat hanyalah taman yang dipenuhi bunga mawar.

"Hei, ibu tiri. Kau tidak bosan di kamar terus?"

Di saat Jihwa melamun, tiba-tiba terdengar suara lelaki menegurnya. Jihwa menoleh kesana-kemari mencari siapa yang mengajaknya bicara. Hingga ia mendongakkan kepalanya tepat ke atas pohon besar di dekat kamarnya. Jihwa terlonjak kaget ketika melihat ada seorang pemuda tengah duduk di atas dahan pohon. Pemuda itu tertawa dengan reaksi Jihwa.

"Maaf. Kau kaget ya?"

Jihwa mendengus kesal.

"Menurutmu? Lagipula, apa yang kau lakukan di atas sana?"

Pemuda itu kemudian memanjat turun dengan mudahnya dari pohon yang setinggi kamar Jihwa, lalu melompat ke jendela kamar gadis itu. Jihwa reflek memundurkan badannya.

"Kau gila?! Ini lantai dua!" Bentak Jihwa.

Pemuda itu kembali tertawa.

"Kenapa juga manusia sepertimu mengkhawatirkan vampir?"

Beast Land || Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang