Chapter 65: The Truth

1.4K 269 65
                                    

"Oh Heeseung! Kita mau kemana?"

Heeseung tetap berlari sejauh mungkin walaupun mereka sudah keluar dari daerah kerajaan. Jihwa merasa ketakutan. Bukan karena Heeseung yang membawanya dalam keadaan hilang kendali, namun ia takut akan tindakan Sehun setelah ini. Tidak mungkin pria itu diam saja, meski ia telah membiarkan Heeseung membawa istrinya kabur.

"Heeseung, kita kembali ya? Berbahaya kalau pihak kerajaan sampai keluar untuk mencari kita."

Jihwa benar-benar tidak peduli dengan nasibnya setelah Heeseung turun tangan seperti ini demi menolongnya. Ia tidak mau sampai terjadi sesuatu pada pemuda itu, apalagi sampai dijatuhi hukuman berat. Namun, Heeseung tidak mendengarkannya. Tatapannya tampak kosong, dan ia terus berlari membawa Jihwa sampai ke dalam hutan. Barulah Heeseung menurunkan gadis itu.

"Hei, ayo kita kembali." Jihwa mengelus pipi Heeseung seraya memohon. "Raja tidak akan menghukum kita terlalu berat kalau kita menyerahkan diri. Jangan terlalu menguji kesabaran ayahmu dengan membuatnya repot mencari kita."

Bukannya menjawab, Heeseung justru memeluk tubuh Jihwa dengan erat. Gadis itu bisa merasakan napas Heeseung yang tidak teratur dan tubuhnya yang gemetaran. Reaksi itu membuat Jihwa luluh. Ia membalas pelukannya seraya mengelus rambut pemuda itu.

"Aku di sini. Bayinya juga tidak apa-apa." Bisik Jihwa tepat di telinga Heeseung. "Tidak ada yang akan menyakiti aku. Kita aman sekarang. Jangan takut."

Suara Jihwa yang halus pun mampu menenangkan Heeseung. Pemuda itu mulai berhenti gemetaran, dan deru napasnya perlahan mulai stabil. Jihwa menghela napas lega. Mungkin untuk malam ini ia akan membiarkan Heeseung menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Barulah besok pagi mereka membicarakan kembali masalah yang terjadi.

"Permisi."

Jihwa tersentak kaget ketika mendengar suara seorang lelaki. Heeseung pun juga mulai kembali waspada saat bau manusia tiba-tiba tercium. Ia kembali memeluk Jihwa dengan posesif. Di sana begitu gelap lantaran sinar bulan terhalang oleh pepohonan lebat, sehingga tidak terlihat jelas siapa yang datang. Hanya tampak cahaya remang-remang yang berasal dari obor yang dibawa oleh orang itu.

"A .... Anda siapa?" Tanya Jihwa.

"Saya yang seharusnya bertanya. Sedang apa kalian di hutan malam-malam begini?"

Lelaki itu semakin mendekat hingga wajahnya mulai terlihat jelas. Jihwa mengernyitkan dahi saat mencoba mengenali wajah yang terlihat samar di kegelapan.

"Nona Jihwa?"

Akhirnya Jihwa dapat mengenali siapa sosok lelaki itu saat ia menyebut namanya.

"Anda .... Dokter yang biasa menemani Heeseung?" Tanya Jihwa. "Ah, bukan. Maksud saya Tuan Heeseung."

Lelaki itu ternyata adalah Soobin. Ia dengan cemas segera berlari menghampiri Jihwa dan Heeseung, lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan mereka berdua.

"Ada apa ini? Kenapa kalian keluar dari daerah kerajaan?"

Soobin memerhatikan kondisi Jihwa dan Heeseung dengan penuh tanya. Kondisi gadis itu jauh dari kata 'layak'. Hanya mengenakan pakaian putih yang kotor, dan tidak mengenakan alas kaki. Sedangkan Heeseung menatapnya dengan tajam seraya melindungi Jihwa. Padahal setiap kali bertemu dengannya, Heeseung akan menyapanya seperti biasa. Seolah pemuda itu tidak mengenalinya.

"Jangan bilang kalau Tuan Heeseung sedang kambuh?"

Jihwa mengangguk pelan.

"Ceritanya panjang. Singkatnya, kami kabur dari istana dan kemungkinan besar sedang dikejar."

Soobin menghela napasnya. Dilihat dari Jihwa dan Heeseung yang kabur berdua, sepertinya hubungan mereka berdua sudah ketahuan. Padahal sebentar lagi orang-orang dari Belsovic akan datang setelah wilayah yang disurvey selesai ditandai.

"Rumah saya ada di dekat hutan ini. Kalian berdua masuklah dulu. Saya ada obat penenang yang biasa digunakan tuan muda."

~~~~~

Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam.

Kini Jihwa tengah duduk bersandar di kepala ranjang, dengan Heeseung yang tidur di pahanya. Setelah disuntik menggunakan obat penenang dosis tinggi, akhirnya pemuda itu bisa tenang. Walau butuh usaha yang ekstra untuk membujuknya masuk ke rumah Soobin. Jihwa menyeka keringat yang menetes di keningnya. Kamar yang ditempatinya sangat minim akan ventliasi udara. Biasanya, ia akan membuka jendela di malam hari kalau cuaca sedang panas. Tak hanya Jihwa, Heeseung sendiri juga berkeringat saat tidur. Gadis itu mengelap setiap keringat yang mengalir dari kepala Heeseung.

"Permisi nona."

Terdengar suara ketukan pintu yang diiringi suara Soobin dari luar. Jihwa pun mempersilahkannya masuk. Pemuda itu membawa nampan berisi makanan dan sekantong darah.

"Saya datang untuk mengantar makanan." Soobin meletakkan nampan itu di atas meja.

"Darah dari mana itu?"

"Oh, ini darah saya. Baru saja saya ambil."

Jihwa merasa tidak enak hati.

"Astaga, tuan. Anda tidak perlu repot-repot. Ada saya yang bisa memberikannya."

"Tidak perlu merasa sungkan. Tuan Heeseung adalah pasien saya. Sudah menjadi kewajiban saya menjaga kestabilan kondisi tubuhnya."

Soobin duduk di tepi ranjang, lalu meraih pergelangan tangan Heeseung untuk memeriksa denyut nadinya. Ia menghela napas lega setelah memastikan kondisi pasiennya itu stabil.

"Mohon maaf, tuan. Saya ingin bertanya. Anda terlibat langsung di dalam rencana kami untuk melarikan diri. Pastinya anda tahu semua yang Tuan Heeseung pikirkan. Bisakah anda jelaskan pada saya?"

Soobin menggigit bibirnya dengan ragu. Cepat atau lambat, Jihwa pasti akan menanyakan masalah ini. Tapi, apakah boleh Soobin mengatakan yang sejujurnya tanpa pengetahuan Heeseung?

"Saya khawatir. Dia terlihat sangat terbebani. Saya berkali-kali memancingnya untuk mengatakan apa yang mengganggu pikirannya, tapi Tuan Heeseung tetap menyembunyikan sesuatu."

Jihwa mengelus perutnya yang masih datar. Seolah menunjukkan pada Soobin bahwa dirinya sedang hamil.

"Saya tidak tahu apakah anda sudah tahu atau belum. Tapi, ada seorang anak yang juga harus kami jaga. Firasat saya mengatakan akan ada hal yang buruk terjadi pada Tuan Heeseung."

Jihwa mengelus pelan rambut Heeseung. Matanya menatap dengan sendu wajah pemuda yang tengah terlelap itu.

"Mungkin bayi ini hadir di luar keinginan saya, tapi saya tidak mau kehilangan dia. Tuan Heeseung pun juga tidak kalah berharga. Kalau bisa, saya ingin hidup bahagia bersama mereka berdua. Saya tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hidup saya tanpa Tuan Heeseung. Bagaimana bisa remaja 17 tahun seperti saya hidup sendirian bersama bayi ini?"

Ungkapan isi hati Jihwa membuat Soobin tertegun. Kalau dirinya menempatkan diri dalam posisi Jihwa, semuanya akan terasa lebih berat. Walaupun Heeseung menyiapkan banyak aset supaya kehidupan Jihwa terjamin, tetap saja harta itu tidak akan bisa mengobati rasa sakit yang dirasakannya. Yang dibutuhkannya adalah Heeseung dan tanggung jawabnya secara langsung untuk menopang psikis Jihwa. Hidup menjadi ibu tunggal, apalagi di usia yang belum dewasa dan mental yang belum matang akan membuat Jihwa hidup menderita.

"Dengar, nona. Saya akan menceritakan semuanya. Tapi, tolong setelah itu tetaplah bersikap tenang. Yang perlu anda lakukan hanyalah membujuk Tuan Heeseung supaya dia mau merubah keputusannya."

Beast Land || Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang