Chapter 71: The Massacre (3)

1.2K 288 101
                                    

"Apa maksud anda?! Kalian ingin berkelahi?"

Jihwa melotot ketika mendengar perintah dari Jay. Ia mencengkram lengan baju Heeseung dengan erat, sampai pemuda itu menoleh ke arahnya. Mata mereka berdua saling bertemu, dan Jihwa menatapnya dengan melas seraya menggeleng pelan. Membujuk Heeseung agar tidak terpancing oleh sang adik. Namun, pangeran sulung itu hanya tersenyum tipis, lalu melepaskan genggaman tangan Jihwa dengan perlahan dari bajunya.

"Ingat, ini memang tujuanku." Bisik Heeseung. "Aku harus mengalahkan semua vampir, walau itu adalah keluargaku sekalipun."

Mata Jihwa beralih menatap ke arah Jay. Entah mengapa, walaupun awalnya ia mendukung rencana Heeseung, namun ketika melihat Jay secara langsung seperti ini membuat hatinya goyah. Jihwa tidak tega melihat ada pertumpahan darah di antara mereka berdua.

"To .... Tolong biarkan Tuan Jay hidup." Pinta Jihwa dengan lirih. "Hanya Tuan Jay saja. Dia vampir yang tidak berbahaya."

Heeseung menghela napas. Ia tahu kalau Jihwa pasti akan bersikap seperti itu. Hatinya sangat lembut, apalagi Jay bukanlah orang asing baginya. Ia adalah seseorang yang selalu membantu Jihwa di saat Heeseung sendiri tidak ada untuknya.

"Dengarkan aku. Kehidupan tidak menjamin Jay bahagia. Kalaupun dia stabil, vampir tetaplah hidup menderita, Jihwa. Jika seandainya kau tahu apa saja yang dilaluinya sejak kecil, kau pasti akan bertindak sama sepertiku."

Jihwa masih tampak ragu. Sedangkan Jay semakin tidak sabar untuk menghabisi Heeseung. Perkataan pangeran sulung itu ada benarnya. Jay terlihat sangat menderita, apalagi Jihwa telah menolaknya dan membuatnya semakin putus asa. Perlahan, Jihwa pun mulai menjauh dari mereka berdua. Sampai akhirnya ia memantapkan pilihannya untuk pergi. Biarkan permasalahan di antara kakak beradik itu diselesaikan oleh yang bersangkutan. Jihwa hanya perlu mendoakan yang terbaik untuk mereka.

Kini, hanya tersisa Heeseung dan Jay. Keduanya saling menatap dengan nyalang. Jay tampak tidak ragu menodongkan pedangnya kepada Heeseung, seolah ia memang siap untuk membunuhnya. Heeseung menghela napas. Ia tahu betul kalau Jay berniat melawannya bukan karena sudah mengetahui bahwa Heeseung adalah pengkhianat. Tapi, pangeran kedua itu melawannya karena seorang wanita. Merupakan pemandangan yang memilukan ketika saudaranya sendiri memusuhinya karena Jihwa.

"Kau sudah besar, Jay." Heeseung tersenyum tipis. "Mungkin sekarang tinggimu hampir setara denganku. Kita jarang bertemu, dan aku masih terkejut melihatmu tumbuh semakin dewasa."

"Berhentilah berbasa-basi, dan lawan aku hyung."

Seperti biasa. Jay adalah orang yang tidak akan menyerang duluan ketika duel. Ia akan menunggu lawannya mulai menyerang, lalu membaca gerakannya untuk melakukan serangan balik.

"Kau tidak berubah, Jay."

Heeseung bersiap untuk menyerang. Kini, ia harus berhati-hati pada Jay. Dia bukan lagi bocah berusia 8 tahun yang selalu kalah setelah duel dengannya. Jay selama ini telah bekerja keras sampai ia dipercaya sebagai tangan kanan sang ayah. Sedangkan Heeseung hanya fokus pada tujuannya.

"Katakan padaku. Apa kau sebegitu ingin bertahan hidup?"

Jay terdiam. Matanya menatap ke bawah dengan sendu. Selama ini, ia tidak tahu apa tujuan hidupnya. Semuanya sudah diatur oleh kedua orang tuanya, seolah ia adalah mesin yang diprogram untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Heeseung sudah tahu mengetahui tatapan mata itu. Jay sebenarnya sangat menderita melebihi siapapun.

"Baiklah, Jay. Kerahkan seluruh kemampuanmu, dan jangan setengah-setengah."

~~~~~~

Di istana keempat.

Beast Land || Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang