"Oh Heeseung, sudah! Aku risih!"
Jihwa merengek, mengeluh untuk meminta dilepaskan oleh Heeseung. Bagaimana tidak? Heeseung terus menuntun langkahnya kemanapun ia pergi. Bahkan pemuda itu hampir mengikutinya memasuki kamar mandi. Jihwa sampai tidak leluasa bergerak dibuatnya.
"Aku tidak mau kau sampai terjatuh."
Jihwa memutar bola matanya dengan jengah. Memang seberapa rentan Jihwa di mata Heeseung sampai harus takut terjatuh?
"Aku hanya sedang hamil, bukan lumpuh."
"Tapi banyak perabotan di dalam kamar. Kalau kau sampai terbentur, bayinya juga bisa dalam bahaya."
Kekhawatiran Heeseung semakin mengada-ngada. Haruskah Jihwa mengosongkan ruangannya dan hanya menyisakan ranjang? Supaya Heeseung berhenti khawatir dan membiarkannya bergerak dengan bebas.
"Tidak, Oh Heeseung. Aku pun hanya berjalan pelan-pelan. Mana mungkin tiba-tiba terbentur perabotan? Atau mau aku jungkir balik sekarang kalau kau tidak mau melepaskan aku?"
Mendengar ancaman Jihwa, Heeseung langsung melepaskan gadis itu.
"Nah, begitu."
Ketika sudah bisa leluasa bergerak, Jihwa pun membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia mengerang ketika punggungnya dengan nyaman menempel pada kasurnya yang empuk. Padahal belum hamil besar, tapi rasanya pegal sekali walau hanya duduk seperti biasa.
"Hei, kau mau apa?"
Jihwa langsung siap siaga ketika Heeseung ikut merangkak menaiki ranjang dan mendekatinya. Pemuda itu mendengus kesal. Jihwa masih saja was-was padanya.
"Mau membuat anak lagi." Goda Heeseung.
Kedua mata Jihwa melotot.
"Sudahlah, berhenti waspada. Aku tidak akan melakukan sesuatu pada ibu hamil. Kau kira sebejat apa aku?"
Dengan mengabaikan tatapan Jihwa, Heeseung menempatkan diri untuk berbaring di samping gadis itu. Sesuai perkataannya, Heeseung tidak melakukan apa-apa. Pemuda itu hanya berbaring dengan menatap langit-langit kamar. Cukup lama, entah apa yang sedang dipikirkannya. Tak hanya hari ini, kemarin pun Heeseung juga lebih banyak diam, sibuk dengan pikirannya sendiri walau di dekatnya ada Jihwa. Hal itu membuat Jihwa merasa khawatir. Padahal dua hari yang lalu ia tampak baik-baik saja.
"Ada yang menganggu pikiranmu?" Tanya Jihwa. "Kau bilang kita akan segera kabur lima hari lagi. Bukankah kau seharusnya senang?"
Heeseung tersadar dari lamunannya. Ia menanggapi pertanyaan Jihwa dengan senyuman.
"Aku senang kok. Aku hanya kelelahan saja."
Jihwa menatap Heeseung dengan penuh selidik. Daripada lelah, ia lebih terlihat seperti memiliki beban pikiran.
"Kalau kau menemukan kesulitan dalam rencanamu, katakan saja. Kau tidak sendiri."
Daripada merespon Jihwa, Heeseung justru menarik kepala gadis itu, lalu merengkuhnya dengan erat seraya mengusak rambut kehitamannya dengan gemas.
"Hei, rambutku berantakan! Lepaskan!"
Tidak peduli seperti apapun Jihwa protes, Heeseung terus mengacak rambut gadis itu sambil tertawa. Jihwa pun tidak terima. Dengan kesal, ia menggelitiki tubuh Heeseung sampai pemuda itu menggeliat kegelian.
"Hei, sudah cukup! Geli!"
Heeseung menahan kedua tangan Jihwa sebelum gadis itu semakin menjadi-jadi. Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka begitu dekat sampai tubuh keduanya saling menempel. Manik kehitaman milik Jihwa pun bertemu dengan manik kemerahan milik Heeseung cukup lama. Dua remaja itu tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Diam-diam, Jihwa mengagumi betapa cantiknya sepasang mata milik Heeseung. Warnanya merah jernih bagaikan permata, berbeda dengan milik bangsawan lain.
Heeseung pun juga begitu. Matanya mulai sayu ketika bau tubuh Jihwa semakin kuat menyapa indera penciumannya. Lagi-lagi, bukan rasa lapar yang menyerangnya, melainkan perasaan ingin 'memakan' gadis itu dengan cara lain. Entah sejak kapan, ia kehilangan rasa laparnya dan Jihwa membuat insting pemangsa Heeseung menjadi tumpul. Yang ada di otak Heeseung hanyalah menginginkan Jihwa seorang, bukan yang lain.
"Apa aku bilang?"
Jihwa menekan dahi Heeseung dengan telunjuknya ketika pemuda itu mendekatkan wajahnya.
"Kau memang tidak bisa dipercaya." Lanjut Jihwa.
Heeseung mendengus kesal. Ia menangkup kedua pipi Jihwa, lalu menekannya secara bersamaan sampai bibir gadis itu mengerucut.
"Memangnya apa kau sendiri tidak mau, hm?" Tanya Heeseung dengan ekspresi mengejek. "Apa kau sama sekali tidak ada pikiran untuk melakukan sesuatu pada pria tampan ini? Apa kau tidak merasakan dorongan hawa nafsu?"
Dengan kesal, Jihwa melepaskan kedua tangan Heeseung dari pipinya.
"Omong kosong macam apa itu? Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu."
Perkataan Jihwa membuat Heeseung tersenyum masam.
"Kau berbicara seolah aku adalah orang yang memiliki otak paling bejat. Apakah keinginan untuk menyentuh orang yang disukai itu tidak normal?"
Wajah Jihwa memerah padam ketika mendengar pertanyaan Heeseung. Orang yang disukai? Kalau dipikir-pikir, meskipun Jihwa sudah hamil dan Heeseung bersedia bertanggung jawab, perasaan mereka berdua sama sekali belum terungkap. Sebenarnya seperti apa hubungannya dengan Heeseung? Saat merawat kandungan Jihwa pun, mereka hanya terkesan seperti partner yang saling membantu.
Tanpa mereka sadari, image "teman" masih melekat pada diri masing-masing.
"Hei. Sepertinya hal ini perlu diluruskan." Ujar Heeseung ketika melihat reaksi Jihwa. "Apa setelah semuanya terjadi, kau masih menganggapku teman?"
Jihwa terdiam. Mencoba bertanya pada dirinya sendiri apakah yang dirasakannya itu cinta atau bukan.
"Aku menyukaimu." Ungkap Heeseung dengan tatapan yang serius. "Mungkin bagimu aku adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Tapi, perasaan ini memang benar adanya. Bahkan sebelum bayi itu hadir."
Tangan Heeseung terulur untuk mengelus pipi Jihwa dengan lembut. Sedangkan gadis itu masih tercengang dengan apa yang dikatakannya.
"Aku tidak hanya sekadar bertanggung jawab atas kesalahanku. Aku memang berniat ingin membahagiakan orang yang aku cintai. Setelah keluar dari sini, aku berjanji kalau aku akan menjamin hidupmu bahagia. Kau akan mendapat hak hidup yang lebih layak, bebas dari penindasan, dan tidak perlu khawatir lagi akan ancaman vampir yang menginginkan darahmu."
Heeseung menarik tubuh Jihwa ke dalam pelukannya, lalu membisikkan sesuatu di telinganya.
"Kau tidak perlu membalas perasaanku. Yang harus kau lakukan hanyalah hidup bahagia. Aku akan menciptakan dunia yang damai untukmu."
Dada Jihwa terasa sesak mendengar pernyataan yang menyapa telinganya dengan hangat. Sampai mata Jihwa mulai memanas dibuatnya. Bagaimana bisa ada seorang pria yang setulus Heeseung? Tuhan begitu baik padanya. Di saat orang-orang yang dikasihi Jihwa menghilang satu per satu karena ulah kaum vampir, kini ada seorang vampir yang rela melakukan segalanya untuknya. Jihwa benar-benar tersentuh sampai tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku juga menyukaimu." Jihwa membalas pelukan Heeseung. "Tidak, aku mencintaimu."
Daripada rasa bahagia, hati Heeseung justru terasa sesak mendengar ungkapan dari Jihwa. Ia tidak sepantasnya menerima pernyataan itu. Heeseung tidak boleh merasa senang dan mulai serakah lagi. Setelah ini, ia harus membayar semua dosa-dosanya.
"Hei, kenapa menangis?" Heeseung mengecup kedua kelopak mata Jihwa secara bergantian. "Matamu bisa bengkak."
"Terima kasih .... Aku benar-benar bersyukur atas kehadiranmu di dalam hidupku. Kau terlalu baik untukku."
Heeseung tertawa pelan. Ia menepuk-nepuk punggung Jihwa untuk meredakan tangisan gadis itu.
"Aku tidak sebaik itu. Tapi, aku akan mengusahakan yang terbaik untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beast Land || Enhypen (END)
VampirosDi abad ke-14, muncul penyakit aneh yang menyerang para bangsawan di suatu negara. Penyakit itu membuat tubuh mereka bermutasi menjadi makhluk penghisap darah yang kuat dan tidak bisa menua. Karena kelainan yang membuat mereka menjadi makhluk yang t...