"Tuan Heeseung kembali ke kamarnya?"
Para pelayan pribadi Heeseung berkumpul di dapur istana utama. Mereka tengah membicarakan sang majikan yang jarang sekali menempati kamarnya. Namun, sejak dua minggu yang lalu, Heeseung kembali ke kamarnya dan tidak keluar sama sekali. Entah apa yang membuat kebiasaannya berubah.
"Iya. Sampai sekarang belum keluar."
"Tumben sekali."
Di saat para wanita itu sibuk berbincang, kepala pelayan datang menengahi pembicaraan mereka. Pria itu berkacak pinggang sembari menunjukkan arlojinya. Tanpa harus menggunakan kata-kata, para pelayan itu mengerti kalau mereka tidak boleh membuang-buang waktu lagi untuk mengobrol.
"Darah binatang atau manusia?" Tanya salah satu pelayan kepada kepala pelayan.
"Memangnya biasanya bagaimana, hm?"
Pelayan itu menghela napas. Percuma membawakan darah manusia untuk Heeseung. Ujung-ujungnya akan dibuang olehnya, dan pemuda itu akan marah besar pada mereka. Tapi, darah binatang juga bukan solusi yang tepat. Menjadi pelayan Heeseung memang membuat mereka menjadi serba salah.
"Kali ini giliranmu mengantarkan ke kamarnya."
Salah satu pelayan memberikan nampan berisi dua kantong darah pada pelayan lainnya. Wanita itu menghela napas, lalu menerimanya dengan pasrah. Setelah itu, si pelayan berjalan menuju kamar Heeseung yang tak jauh dari dapur. Ia berusaha tenang. Para pelayan harus siap mental dan fisik setiap kali menghadapi Heeseung.
"Tuan, waktunya makan siang." Serunya seraya mengetuk pintu.
"Ya."
Heeseung hanya menjawab dengan singkat. Si pelayan menghela napas lega. Setidaknya pemuda itu mengizinkannya masuk dan tidak mengusirnya seperti dulu. Ia pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Betapa tercengangnya wanita itu ketika melihat kamar Heeseung berantakan. Lampu tidur pecah dan berserakan di lantai, meja nakasnya hancur, cermin besar pun juga pecah. Sedangkan si pemilik kamar duduk di lantai dengan menundukkan kepalanya. Tangannya bersimbah darah meskipun tidak ada luka di sana. Tanda bahwa luka di tangannya sudah beregenerasi.
"Tuan, silahkan minum darahnya."
Si pelayan dengan gemetaran meletakkan nampan berisi dua kantong darah di atas ranjang milik Heeseung. Meja milik pemuda itu sudah hancur, dan si pelayan bingung ingin menaruhnya di mana lagi.
"Tuan? Anda harus meminumnya kali ini. Saya mohon."
Heeseung melirik wanita itu dengan tajam. Si pelayan tersentak kaget. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap langsung ke arah mata Heeseung.
"Ya. Tinggalkan di situ."
Pelayan itu mengerjapkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Heeseung.
"Ba .... Baik, tuan. Terima kasih banyak."
Si pelayan membungkukkan badan berkali-kali. Ia merasa begitu lega karena kali ini Heeseung tidak menolaknya. Setelah itu, si pelayan meninggalkan kamar Heeseung sesegera mungkin. Takut kalau eksistensinya membuat majikannya merasa terganggu.
"Hei, kalian!"
Para pelayan yang sibuk di dapur menoleh ke sumber suara. Si pelayan yang baru saja keluar dari kamar Heeseung tampak gembira.
"Kalian tahu? Tuan Heeseung tidak mengamuk lagi!"
"Serius?"
"Iya! Tuan tidak mengusirku seperti biasa. Dia minta aku meninggalkan darah di kamar."
Para pelayan tercengang mendengar cerita itu.
"Aneh sekali. Kerasukan apa dia?"
"Kenapa kalian heran? Seharusnya kalian senang kalau tuan muda sudah berubah menjadi lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beast Land || Enhypen (END)
VampirgeschichtenDi abad ke-14, muncul penyakit aneh yang menyerang para bangsawan di suatu negara. Penyakit itu membuat tubuh mereka bermutasi menjadi makhluk penghisap darah yang kuat dan tidak bisa menua. Karena kelainan yang membuat mereka menjadi makhluk yang t...