"Dia masih suka mengamuk?"
Si pelayan mengangguk pelan ketika kepala pelayan bertanya mengenai keadaan Heeseung. Pria itu menghela napas frustasi. Sebelumnya, ia kira Heeseung sudah memiliki progress dalam hidupnya. Mengingat kalau pemuda itu pernah bersedia mengenakan kembali pakaian bangsawan dan ikut bersama permaisuri untuk bertemu dengan para calon istrinya. Namun, setelah itu emosi Heeseung justru semakin tak terkendali. Lebih parahnya, pemuda itu hanya mengurung diri di kamar dan membuat para pelayan ketakutan.
"Kukira permaisuri berhasil membujuknya." Ujar kepala pelayan. "Kalau seperti ini terus, aku sendiri tidak yakin apakah masa depannya tertolong atau tidak."
"Bukan hanya masa depannya. Kalau raja masih mengharapkan tuan muda sebagai penerus utama, masa depan kerajaan ini juga patut dipertanyakan."
Kepala pelayan memijat kepalanya yang terasa pening.
"Tuan sudah berusia 17 tahun. Tiga tahun lagi usianya sudah legal untuk menikah. Kalau memang dia sudah tidak peduli lagi dengan kerajaan, setidaknya dia harus memikirkan dirinya sendiri. Bagaimana nasibnya kalau tuan hanya menyia-nyiakan masa mudanya?"
Pelayan wanita hanya bisa menatap dengan iba pria yang mengutarakan keluh kesahnya itu. Ia sendiri sudah lelah. Selama 8 tahun lamanya, wanita itu mengabdikan diri untuk menjadi pelayan pribadi Heeseung. Waktu yang dihabiskannya tentu tidak berlalu dengan indah. Ia harus melihat banyak rekan kerjanya merenggang nyawa dan sekarang hanya tersisa dirinya. Terlebih lagi, pengorbanannya tidak membuahkan hasil. Heeseung sama sekali tidak menunjukkan perkembangan.
"Sabar, tuan. Suatu saat, pasti ada jalan."
~~~~~~
"Istirahatlah, nona. Mulai seminggu kedepan, raja ada dinas di luar kota. Jadi anda bisa tidur dengan nyenyak."
Kabar yang diberikan pelayan pribadinya membuat Jihwa menghela napas lega. Akhirnya ia terbebas dari Sehun walau hanya sementara. Gadis itu menarik selimut, lalu merebahkan diri di ranjang.
"Syukurlah." Jihwa tersenyum puas.
Si pelayan tersenyum. Ia mengelus surai kehitaman milik Jihwa dengan lembut.
"Emm .... Bibi, aku memikirkan suatu hal."
"Apa itu, nona?"
Jihwa menatap wanita paruh baya itu dengan ragu.
"Apa anda punya obat yang bisa membuat mandul?"
Kedua mata pelayan itu membola mendengar pertanyaan Jihwa.
"Kau bicara apa, nona?!"
"Aku .... Hanya takut hamil. Kalau aku menggunakan sesuatu supaya aku tidak bisa hamil, bukankah semua akan baik-baik saja?"
Wanita itu menghela napasnya. Ia menangkup pipi Jihwa.
"Dengar, kau masih punya masa depan. Jangan mengorbankan tubuhmu demi melindungi diri dari baginda raja. Kita masih punya banyak cara. Bahkan kau belum sempat mencobanya."
Jihwa terdiam. Meskipun tampak dilema, ia menganggukkan kepala menyetujui apa yang dikatakan pelayannya.
"Jangan berpikiran macam-macam. Kau tidak sendirian, nona. Kalau butuh bantuan, saya bisa membantu."
"Baik, bibi. Terima kasih sudah memedulikan saya."
Si pelayan pun membereskan nampan berisi sisa makan malam di atas meja nakas, lalu berjalan menuju pintu.
"Baiklah. Selamat tidur, nona."
Setelah memastikan bahwa wanita itu benar-benar pergi dari kamarnya, Jihwa menyingkap selimut sembari bangkit dari ranjang. Ia melangkah menuju pintu, lalu memutar daun pintu untuk melihat apakah pintunya dikunci atau tidak. Rupanya, baik pelayan atau Jay sendiri sudah tidak berinisiatif untuk menguncinya dari luar. Hal itu membuat Jihwa dengan leluasa membuka pintu, dan memeriksa keadaan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beast Land || Enhypen (END)
مصاص دماءDi abad ke-14, muncul penyakit aneh yang menyerang para bangsawan di suatu negara. Penyakit itu membuat tubuh mereka bermutasi menjadi makhluk penghisap darah yang kuat dan tidak bisa menua. Karena kelainan yang membuat mereka menjadi makhluk yang t...