《03》 LDR crisis

5.2K 553 67
                                    

"Yang, aku izin ya. Mau ke Bogor."

Deva yang sedang berjalan menuju pintu rumah, lengkap dengan jaket dan helm-nya, terdiam di tempat. Keningnya berkerut. "Bogor? Malam ini?"

"Iya. Sama anak-anak. Bentaran doang kok."

"Malam ini?" Ulang Deva.

"Iya, yang. Kenapa sih? Kan udah aku bilang iya."

Deva menggantungkan helm-nya di stang motor. "Siapa aja?"

"Temen-temen PUBG, yang. Kamu jadi keluar sama si Rina itu?"

Deva dan Sherina sudah membuat rencana untuk pergi ke rumah Karina. Soalnya, mamanya masak banyak. Jadi, beliau mengundang anak-anak perantauan ini untuk menghemat dan makan di rumahnya saja. "Udah ga mood aku. Kalian pergi naik mobil?"

"Mobil siapa, elah? Ya naik motor."

Deva memijat pelipisnya. "Tapi ini udah malam, Al. Mau balik jam berapa lagi?"

"Ya abis anter kak Fia, langsung balik."

"Kak Fia?"

"Iya. Ke Bogor juga karena mau anter dia pulang. Dia main ke sini tadi sekalian ada urusan sama temen kampusnya. Boleh ya?"

Deva memutar matanya. Ia tidak pernah suka dengan teman-teman gamers-nya Naufal. Setiap hari, ada saja yang mengajaknya untuk main, untuk push rank. Naufal bahkan betah bermain hingga subuh. Kalau Naufal masih memperhatikan kesehatannya, Deva juga tidak masalah. Tapi, Naufal sendiri punya pola hidup yang tidak sehat.

Jarang makan nasi, konsumsi saos kebanyakan, merokok, alkohol. Deva sampai pusing saat asam lambung pacarnya itu kumat.

"Kalo aku bilang gak boleh, emang kamu gak bakalan pergi?"

"Kenapa sih, yang? Sama temen juga. Aku boncengan sama bang Yuda kok."

Deva menghela. Mau melarang pun, ia takut mereka kembali berselisih hanya karena hal sesepele itu. "Wait. Aku agak gak paham." Naufal berdeham, mendorong Deva untuk melanjutkan. "Kamu mau ke Bogor cuma buat anter kakak itu aja? Seriously?!"

Deva tak habis pikir. Ia heran dengan Naufal. Saat dirinya yang meminta Naufal untuk ketemuan berdua, ada saja alasan Naufal untuk menolaknya. Padahal, posisi Deva waktu itu adalah di Bandung, satu kota dengan Naufal, dan hanya berjarak dua puluh kilometer. Sedekat itu saja Naufal menolak, apalagi memintanya untuk bertemu di Jakarta?

Tetapi, mengantar temannya itu ke Bogor, pergi-pulang dalam semalam, Naufal bisa menyanggupinya. Deva tahu. Bagi Naufal, teman adalah segalanya. Tetapi, apa ia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Deva mengenai hal itu?

"Iya, yang. Lemot bener dah. Aku udah ditungguin."

"Kalo kamu memang udah mau pergi, ngapain tanya aku boleh apa enggaknya? Ga penting juga kan? Ujung-ujungnya pergi juga. Yaudah. Hati-hati aja di jalan. Kabarin aku."

Setelah panggilan telefon itu mati, Deva langsung bergegas membawa motornya menuju rumah Karina. Ia memang sudah tidak dalam mood untuk bepergian malam itu. Tetapi ia sudah membuat janji, dan perutnya juga sudah lapar.

--

"Beri tepuk tangan dulu untuk kelompok presenter." Ucap bu Sarah sambil memimpin kelas untuk bertepuk tangan.

"Udah bagus ya, presentasinya. Saya suka nih, PPT-nya on point. Kelompok presenter juga mampu membawa materinya dengan baik dan cukup jelas."

red [2jae - AU] ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang