《10》 disaster

5.2K 546 86
                                    

Selama beberapa hari, Deva terpaksa bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan Javran. Biasanya, saat ia ada jadwal kelas pagi, ia akan menyiapkan sarapan ala-ala western karena pembuatannya yang gampang dan praktis. Dan malam sebelumnya Javran mengiriminya pesan yang berisikan daftar menu yang ia inginkan untuk keesokan harinya. Dan roti, telur, baked ham, serta susu, adalah makanan yang ia siapkan di hari itu, berdasarkan request Javran. Deva juga menyiapkan satu wadah untuk menempatkan potongan buah-buahan.

Meskipun sarapan milik Javran ia siapkan dengan penuh pertimbangan dan juga memakan waktu yang cukup banyak, Deva tidak mau repot-repot membuat jenis makanan yang sama untuk dirinya sendiri. Yang Deva konsumsi tetaplah sama; bubur instan dan teh panas. Well, setidaknya sampai ia menerima gaji pertamanya.

Deva memarkirkan motornya di tempat parkir Fakultas Psikologi Neo University. Ia menenteng tas bekal berwarna biru, dan membawanya lurus menuju ruangan Javran dengan berlari kecil.

Deva mengetuk pintu tiga kali, lalu membukanya. Seperti biasa, Javran sudah standby di ruangannya, me-review materi yang akan ia bawakan pada hari itu.

"Pagi, pak." Sapa Deva pelan. Ia meletakkan tas bekal tersebut di meja.

Javran bergumam. Ia menggeser laptop-nya ke kiri agar ada cukup ruang untuk menata wadah-wadah sarapannya.

"Duduk."

"Eh?" Deva bingung. Biasanya, ia hanya akan mengantar bekalnya, lalu keluar dan melakukan aktivitasnya.

"Duduk, Deva. I suppose pagi ini kamu gak ada kelas. Correct?" Javran berkata demikian karena Deva menyusun wadahnya dengan santai, tidak terburu-buru seperti sebelum-sebelumnya.

Kebetulan, pagi itu Deva memang tidak memiliki kelas pagi, dan kelas pertamanya akan dimulai dua jam lagi. Ia berniat untuk menghabiskan waktu di taman fakultas sampai sepuluh menit sebelum kelas dimulai, menyelesaikan bacaannya pada novel Red Queen yang ia beli saat pertama kali sampai di Jakarta setahun yang lalu.

"T-tapi, pak ..."

Melihat Javran yang menaikkan alisnya dan menatapnya dengan sedikit tajam, Deva pun menurut. Ia duduk di hadapan Javran sementara dosen muda itu mulai menyantap sarapannya.

"Jangan dilihat aja. Ambil kalau kamu mau."

Wajah Deva memerah. Ia tidak bermaksud untuk memandangi buah-buahan itu, tetapi matanya tidak sengaja berhenti di sana saat pikirannya berterbangan memikirkan kapan hujan akan berhenti. Ia pun memutuskan untuk memainkan ponsel saja untuk mengatasi rasa malunya.

Beberapa saat kemudian, Javran pun selesai dengan sarapannya. "Bisa tolong ambilkan saya air?"

Tanpa berbicara, Deva pun menurut. Ia berjalan ke tempat dispenser berada, dan mengisi gelas Javran dengan air hangat.

"Kamu sengaja menggoda saya?"

Deva berjengit kaget ketika Javran mengendus sisi kanan lehernya. Genggamannya pada gelas putih itu merenggang. Untung saja Javran bergerak cepat dan meletakkannya di meja tempat dispenser itu berada.

"Your button, Deva. Kenapa dibiarkan terbuka?"

Semenjak Deva menginjakkan kaki di ruangannya, ia sudah menyadari bila kancing baju Deva tidak sepenuhnya dikancing. Awalnya ia tidak peduli. Namun, saat ia mencium aroma lembut lavender, perhatian yang ia berikan kepada Deva pun muncul.

"P-pak, jangan! Ini di kampus ..." Deva panik. Javran melingkarkan lengan kekarnya di tubuh Deva dan menghirup dalam-dalam aroma lavender yang menempelinya.

Bukan maksudnya untuk sengaja membiarkan dua kancing teratas bajunya terbuka. Itu ia lakukan agar ia tidak merasa tercekik. Lagi pula, kelasnya masih belum dimulai. Jadi, Deva berpikir kalau kancing bajunya yang tidak terpasang bukanlah masalah besar.

red [2jae - AU] ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang