Mata sipit yang membulat itu menatap orang di depannya dengan kasihan. Ia menyeruput jus mangganya sambil tangannya menepuk-nepuk pelan kepala yang berada di meja.
"Gue tau bang Javran itu cukup charming. Tapi lo apa gak bisa lihat, kak, kalo dia juga cowok yang brengsek?"
Deva menaikkan kepalanya sedikit untuk menatap Jibran. Kemudian ia kembali membenamkan wajahnya di meja, dan memekik tertahan. Pekikannya tidak bertahan lama karena Deva menggantinya dengan isakan tangis palsu yang ia lebih-lebihkan.
Isunya kali ini masih lah sama. Perpanjangan dari kecemburuannya terhadap wanita asing yang membawa Javran kembali ke apartemen tempo hari. Ternyata, malam itu bukan satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk berpapasan. Keesokannya saat Deva mengantar sarapan, yang mana adalah pagi beberapa jam yang lalu, ia kembali bertemu dengannya di apartemen Javran dengan pajama yang tertutup. Hal itu cukup melegakan baginya. Meskipun demikian, perasaan tak nyaman di dada Deva tetap saja hadir.
"Lo suka attend party gak, kak?"
"Kamu ke Jakarta cuma mau party? Di Bandung juga banyak tempat untuk party, Bran."
"Temen Ibran ngadain acara ultahannya di sini. Kurang jauh mah kalo kata gue."
Deva hanya menanggapinya dengan oh. Matanya kemudian menyipit. "Mau berapa lama kabur dari rumah?"
Jibran mendengus. "Ibran gak kabur. Plus, ini weekend. Bang Ian udah janji mau ajak Ibran ke dufan."
Deva terkekeh. "Dasar bocah."
Keduanya sedang berada di sebuah kafe dekat komplek apartemen Javran. Jibran melobi Deva saat anak SMA itu tahu kalau Deva sedang dalam perjalanan menuju apartemen Javran, untuk bekerja selama weekend. Bahkan ia mengirimi pesan kepada kakak sulungnya, mengatakan ia sedang berkencan dengan Deva.
"Tar malem keluar kuy!"
Deva menggelengkan kepalanya. Sebesar apapun keinginannya untuk menemani Jibran, namun tetap saja ia ingin menghabiskan waktu senggangnya dengan beristirahat di rumah. Minggu yang telah ia lewati itu cukup berat bagi otak dan tubuhnya. Ia ingin mengumpulkan kembali energinya yang telah meluap.
"Ada series yang pengen kakak tonton dari kemaren-kemaren. Jadi, no. Ajak noh abang-abang lu."
Wajah Jibran memberengut. "Orang bilang, the more the merrier. Kak Deva mah gak seru."
Kali itu, Deva tidak akan terpengaruh. Kedengarannya sih memang seru bila ia mengiyakan ajakan Jibran untuk menghabiskan waktu malam di luar. Tetapi ia juga sudah membuat rencana untuk ia lewati seorang sendiri.
--
"Jadi, lo nolak Sebastian karena anak itu?"
"Ngapain masih di sini?"
"I wonder the same thing! Jadi?"
Helaan napas terdengar. Javran membawa pergi gelasnya yang berisikan teh panas ke ruang santai. "Engga, Gi. Even if the boy's not around, I won't get back with Tian."
Gianna ikut duduk di samping kanan Javran. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil. "So you're saying that you have something with that boy? What's his name again? Daffa?"
"It's Deva, with v."
Wanita itu tersenyum menggoda ke arah Javran. "I know something's up with you both. It's about bloody time that you finally settle down for good."
KAMU SEDANG MEMBACA
red [2jae - AU] ☑
Fiksi PenggemarWhen Taylor Swift says, "loving him is like trying to change your mind once you already flying through the free fall", well, I couldn't agree less. - Naldeva (2021) ⚠️ WARNING ⚠️ - Lokal AU - Boys love 🔞 - Rated super ++ - M-preg (side character) ...