Cuaca di Bandung sore itu sangat bagus, sayang bila hanya dihabiskan di rumah. Jadi, Deva pun membawa sepedanya berkeliling komplek, sekalian berusaha menghasilkan keringat dari olahraga ringannya tersebut.
Terhitung sudah dua kali Deva mengelilingi komplek, dengan total jarak 15 km. Karena ia mengayuh sepedanya dengan santai, ia sama sekali tidak merasa capek. Bahkan keringat yang dinantikannya pun tidak ada yang keluar karena angin yang bertiup.
Sudah banyak pesepeda lain yang melewatinya. Deva yang berulang kali dilewati, perlahan merasa dongkol. Ia memang sengaja membawa sepedanya dengan kecepatan itu. Tetapi, ia berpikir mungkin para pesepeda itu tengah memandangnya sebelah mata karena membawa sepedanya seperti tidak bertenaga.
Saat dirinya bertekad untuk menaikkan kecepatan kayuhannya, seorang pejalan kaki yang baru saja ia lewati, memanggilnya, "Deva."
Deva merasa dejavu. Secara spontan, ia menoleh ke belakang dan sepedanya malah menabrak trotoar jalan. Saat mencoba menyeimbangkan sepedanya, ia gagal dan akhirnya terjatuh.
"Aw anjing!" Deva meringis. Ia merasakan sakit di beberapa tempat; alat kelaminnya yang terbentur kerangka sepeda dan kakinya yang tergores aspal.
"Ck. Ceroboh." Javran membantu Deva dengan mengangkat sepedanya kemudian mengangkat orangnya.
"Mas ih kenapa panggil-panggil?! Deva jatoh, kan!" Deva meneriaki Javran yang berlutut di depannya.
Javran menghela pelan. Ada goresan kecil di lutut Deva, dan itu terlihat sakit. "Ayo obati kaki kamu dulu."
Mendengar Javran menyebut-nyebut kakinya, Deva pun akhirnya melihat ke bawah. Ia baru menyadari kalau ada luka gores di lututnya. Ia pun mengibaskan tangannya sebagai tanda dismissal, "nanti aja di rumah. Goresan kecil doang ini mah."
Javran tampak tidak yakin. Ia ambil botol minum Deva dan airnya dituangkan ke luka tersebut agar tidak terjadi infeksi. Setelah itu, Javran meminum tiga teguk dari botol dan mengembalikan botol tersebut ke tempat semula.
"Kamu belum kasih saya jawaban. Udah dua minggu," kata Javran yang efektif menghentikan celotehan Deva karena persediaan airnya hampir dihabiskan.
Deva tahu maksud Javran. Tetapi, ia ingin berlaga bodoh. Maka, ia pun menunjukkan ekspresi bingungnya, "jawaban apa, mas?"
Ia melakukannya juga karena Javran kembali menggunakan "saya" dalam menyebut dirinya sendiri ketika mereka berbincang. Hal itu membuat Deva merasa sebal.
Javran hanya menghela. Ia kembali berjalan dan meninggalkan Deva. Toh anak itu membawa sepeda, ditinggalpun tidak akan menjadi masalah.
Melihat Javran yang juga terkesan cuek, Deva mendecakkan lidahnya dan berseru, "Deva masih mau kuliah, abis itu mau cari kerja! Kalo Deva nikah sekarang, kerjaan Deva nanti apa? Deva kan juga mau kasih uang bulanan buat bapak sama ibuk."
Deva mengayuh sepedanya dengan pelan, mengikuti irama langkahan kaki Javran yang panjang-panjang. Sesekali ia akan menoleh ke arah Javran untuk melihat wajah tampan dan mencoba menganalisa ekspresinya. Tetapi yang menjadi fokus penglihatannya hanyalah wajah tampan Javran yang berpeluh.
"Oke," ucap Javran.
Kening Deva berkerut. Ia dengan sengaja menghentikan kayuhan sepedanya dan berhenti tepat di depan Javran, menghalangi dosen itu untuk melanjutkan jogging-nya.
"Kok oke aja?! Bilang apa, kek! Sanggah, kek! Atau, eum, negosiasi, kek! Kok oke?!"
Javran melirik Deva. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia tidak mengira Deva akan bereaksi seperti itu. Seolah-olah, Deva sudah berasumsi bahwa Javran tidak akan mengizinkannya melakukan ini-itu ketika-- lebih tepatnya, bila mereka menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
red [2jae - AU] ☑
ФанфикWhen Taylor Swift says, "loving him is like trying to change your mind once you already flying through the free fall", well, I couldn't agree less. - Naldeva (2021) ⚠️ WARNING ⚠️ - Lokal AU - Boys love 🔞 - Rated super ++ - M-preg (side character) ...