AME 🎐 02

1.5K 158 2
                                    

Bel pulang sekolah berdering nyaring. Aku yang melamun di jam terakhir tersentak pelan, kaget. Suara gaduh dikelas menjadi alunan melodi paling rumit yang selalu aku dengar.

Teriak sana teriak sini, tertawa terbahak-bahak, bermain kejar-kejaran, berlari berebut keluar kelas menuju parkiran atau gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum.

Aku masih diam dibangku favoritku, menatap taman belakang sekolah yang sebentar lagi akan aku singgahi kembali, melanjutkan hukuman dari Pak Bram atas dakwaan meja penghakimannya.

Aku menopang dagu, memejamkan mata cukup lama, menikmati suara riuh yang perlahan-lahan mereda, mulai menghilang bersamaan dengan kelas yang sudah kosong.

Aku menghela nafas saat perutku berbunyi, tapi enggan untuk membuka mata karena masih ingin menikmati keheningan yang damai ini. Suara gemerisik daun yang tertiup angin menjadi satu-satunya melodi indah ditelingaku. Dan keheningan yang memelukku ini menjadi satu-satunya candu bagiku.

Sekali lagi perutku berbunyi, bahkan lebih nyaring. Aku membuka mata, masih bertopang dagu. Kemudian menatap sekitar tanpa menoleh sedikitpun. Sepi, tidak ada siapa-siapa.

"Akhirnya bisa makan," ucapku tersenyum lebar, kemudian mengambil kotak makanku di tas.

Aku meraih ikat rambut dan jepitku dari saku seragam, kemudian mengikat rambut sebahuku itu dan menjepit poniku yang menutup sebagian mata. Setelahnya aku mulai makan dengan tenang. Sangat damai.

Saking lahapnya karena lapar aku lupa masih ada hukuman yang menunggu. Dua puluh menit berlalu setelah bel pulang berdering ditambah dengan lima menit aku makan, terhitung dua puluh lima menit aku lupa melanjutkan hukumanku.

Aku baru tersadar sesaat setelah ketukan sepatu seseorang berhenti tepat dipintu kelasku. Aku mendongak masih dengan mulut yang penuh makanan, menatap siapa orang yang dijam segini belum pulang sekolah.

"Gawat"

Aku menelan makananku susah payah. Berdiri sambil menundukkan kepala.

"Tunggu. Kemana poni aku?" tanyaku cemas.

Refleks langsung meraba kepalaku dan menemukan jepit terpasang disana. Buru-buru aku lepas jepit dan ikatan rambutku ketika sadar.

Suara kekehan terdengar renyah ditelingaku. Aku melirik orang itu dibalik poni yang sekarang berjalan perlahan menuju bangku ini.

Aku tahu aku bodoh. Aku tahu aku ceroboh. Aku tahu aku selalu sial. Tapi setelah beberapa tahun lalu aku tahu betapa bodoh, ceroboh dan sialnya aku hari ini.

Ettan sampai dimejaku, tepatnya dihadapanku. Aku cemas, takut apa yang aku pikirkan setelah kejadian ditaman belakang menjadi nyata.

Aku kembali melirik Ettan lewat ekor mata. Aku menghembuskan nafas lega karena dia tidak lagi menatapku. Sekarang dia tengah mengobrol hangat dengan Friya yang kadang diselingi tawa.

Aku tersenyum. Tapi tak lama kemudian badanku menegang, mengamati lebih jauh tatapan apa yang diberikan Ettan kali ini padaku.

"Gawat"

Aku tahu tatapan itu. Di film-film yang aku tonton dan dilingkungan sekitar yang selalu aku amati selama 16 tahun, aku sudah hafal betul apa arti tatapan itu.

Tatapan itu menyiratkan penasaran.

Seharusnya aku tidak perlu terlalu cemas. Tapi aku tahu manusia itu memiliki hasrat, ambisi, dan ego yang tinggi. Aku sering menjumpai orang yang seperti itu. Hanya satu dua manusia yang bisa aku hitung memiliki sifat baik penuh kelembutan, bukan hasrat.

Tapi Ettan tetap manusia, apalagi dia laki-laki yabg dari pengamatanku species berjenis laki-laki selalu dominan memiliki hasrat lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Kali ini Ettan pun begitu. Tatapan penasarannya pasti akan berujung buruk, baik itu Ettan sendiri, aku dan Friya. Aku bisa memprediksinya.

Aku terkejut saat tangan seseorang mengacak rambutku gemas. Jantungku serasa berhenti. Aliran darah ditubuhku dan pasokan udara disekitar serasa membeku, sampai-sampai tanganku berkeringat dingin.

"Ternyata lo lucu," ucap Ettan terkekeh kembali sambil melepaskan tangannya dari kepalaku.

"Habisin makanannya, jangan lupa minum. Gue tunggu ditaman belakang," ujarnya kemudian pergi meninggalkan kelasku.

Aku tahu akan jadi seperti ini. Tapi atas kebodohan dan kecerobohanku, semuanya akan lebih sulit untuk dihadapi. Aku tidak tahu kedepannya akan terjadi peristiwa besar apa. Tapi yang aku yakini semua peristiwa itu berawal dari kebodohanku hari ini.

"Aku mau pulang" ucapku lirih dengan tangan gemetar.

🎐🎐🎐

Setelah kejadian tadi nafsu makanku hilang. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi aku langsung pergi menuju taman belakang sekolah, melanjutkan hukumanku.

Sesampainya disana, aku lihat Ettan sudah menanam sebagian bibit bunga yang seharusnya aku tanam. Melihat itu pun aku langsung melempar tasku sembarangan dan buru-buru merebut bibit bunga ditangan Ettan.

Ettan terkejut, pasti. Dia mengerutkan dahinya bingung dengan sikapku. Tanpa mempedulikannya aku langsung menanam semua bibit bunga itu.

"Sini biar gue bantu" ucapnya bersiap mengambil bibit bunga disampingku.

Aku yang melihat itu pun langsung mengambil bibit bunga dan menempatkannya jauh dari jangkauan Ettan. Sedangkan Ettan, dia tetap keras kepala ingin membantu.

"Gue bantu" ucapnya lagi.

Aku menggeleng tegas. Tidak mau bicara atau nanti keadaan semakin bertambah parah.

"Gue bilang gue bantu" ucapnya geram.

Sekali lagi aku menggeleng.

"Gue bantu atau lo bicara?" ucapnya lagi memberikan ultimatum kepadaku.

Aku menoleh, menatapnya dibalik poniku. Sekali lagi aku menggeleng.

Ettan semakin geram, dia mendekat padaku dengan cepat, secepat aku berkedip. Sekarang dia tepat dihadapanku, jaraknya sangat dekat sampai-sampai aku hanya bisa melihat dada bidangnya saja.

Ettan meraih daguku, memaksa untuk mendongak menatap dirinya.

"Gue bantu atau lo gue cium?"

🎐🎐🎐

818 kata

- 27 Juni 2021 -
Hatpahat

A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang