AME 🎐 07

1K 141 2
                                    

"Raib sudah semua keberanian untuk merindu. Berangan menanti peluk yang mendamba.
Ini tentang pulangku, yang tak berani 'ku jemput"

- Ame -

Suara hujan kini malah terdengar menyeramkan ditelingaku. Sekarang aku hanya bisa diam menatap wujud nyata yang disebut sebagai manusia aneh.

"Buat lo" ucapnya lagi ketika aku tidak kunjung menerima pemberiannya.

Aku kembali tidak menjawabnya, melainkan memilih melangkah mundur bersiap untuk lari meninggalkan laki-laki aneh itu.

"Hei pendek" serunya datar tanpa ekspresi, kesannya malah bukan seperti seruan ditelingaku.

Aku terpaksa berhenti mendengar seruannya itu. Oke, ini mulai menyebalkan. Rasa-rasanya hari ini aku begitu sensitif mendengar kata pendek bersanding denganku. Baik, hari ini saja izinkan aku untuk tersinggung kawan-kawan.

"Aku punya nama, dan namaku bukan pendek" tekanku padanya.

"Gue gak tau nama lo" ujarnya masih dengan tampang datar mengesalkan itu.

"Nama aku--"

"Nama lo gak penting. Sekarang yang terpenting buat gue, lo ambil kardus ini terus bawa jauh-jauh dari gue" potongnya.

Oke, ini sudah sangat sangat menyebalkan.

"Bisa nggak kamu ja--"

Dia menyodorkan kardus itu ke pelukanku, memaksa aku untuk mengambilnya. Lagi-lagi dia memotong ucapanku. Sungguh tidak sopan.

"Gak usah ngoceh. Ambil terus bawa jauh-jauh" ucapnya kemudian melangkah pergi melewatiku.

Geram. Sungguh, rasanya aku ingin mencakar wajah datarnya itu supaya berhenti bersikap menyebalkan. Aku berbalik, kemudian menyusulnya yang sudah lumayan jauh didepan.

"Berhenti! Aku bilang berhenti!!" teriakku sambil berlari mengejarnya.

Bruk!!

"AKU BILANG BERHENTI!! DASAR BODOH!!!" teriakku kencang, dan berhasil menghentikan manusia-bodoh-yang-aneh-dan-menyebalkan itu.

Sekarang kesabaran aku sudah habis. Kanya yang menyebalkan, Bu Farah yang menyebalkan, Pak Bram yang menyebalkan, cuaca yang menyebalkan, dan Si Murid Baru yang super menyebalkan. Cukup, hari ini sudah lebih dari menyebalkan!!

Aku berdiri, mengesampingkan rasa perih di kedua lutut dan sikuku. Kini hanya ada rasa marah yang harus segera aku tuntaskan kepadanya.

Miauw

Miauw

Aku tersadar dari pikiranku, dan dengan seketika amarahku pun hilang mendengar suara hewan mungil yang terdengar pilu dan lemah.

Aku menoleh kebawah, tepatnya kearah kardus yang tadi terlempar tidak jauh dari tempatku jatuh, kini kardus itu sudah benar-benar basah dan menampilkan tiga anak kucing yang bulu halusnya sudah basah kuyup.

Detik itu juga aku berlari kearah dimana kucing itu berada, kemudian memeluknya erat berharap mereka mendapat kehangatan. Tanpa sadar air mataku meluncur, teringat pada sesuatu yang seharusnya aku lupakan.

"Dasar anak sialan!! Kalo kamu gak bicara, semua ini gak akan terjadi!!" teriaknya padaku sambil melayangkan tamparan.

Aku hanya diam, tidak melawan. Mungkin saja Papa benar, ini semua salahku.

"Cukup mas!! Ini bukan salah dia!! Ini salah kamu yang gak bisa pegang janji kamu buat aku!!" bela Mama yang tiba-tiba memelukku erat.

"Jangan sakitin anakku mas!! Ayah macam apa kamu yang berani mukul anak nya sendiri hah?! Dasar pria brengsek!!"

A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang