"Aku baru tahu kamu seberbeda ini ketika denganku. Haruskah aku senang karena perilaku lembutmu selama ini, atau sedih karena kamu menutup diri?"
- Friya Asyifa -
Keringat mengalir dipelipis dan punggungku. Nafasku terus tersengal ketika debaran jantung kian berdetak cepat. Rasa pegal seketika menjalar dikakiku, namun aku terus paksa kaki kecilku ini untuk tetap berlari.
Kakiku berhenti ketika akhir dari tujuanku ada didepan mata. Namun sayang, apa yang ada didepan mata tidak senantiasa membuat hatiku lega setelah semua kegelisahan beberapa menit yang lalu. Wajahku memucat ketika memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpa.
Brum
Brum
Suara deru motor membuyarkan semua pikiran negatifku. Aku menoleh ke belakang, mendapati seorang murid yang menaiki sepeda motor. Dan tentu, dia juga telat sepertiku. Aku alihkan kembali pandanganku kedepan, melangkah dengan ragu menuju gerbang yang sudah tertutup rapat.
Jika yang berada didalam merasa dirinya seperti burung dalam sangkar yang ditinggal dipanas teriknya matahari dan ingin segera keluar, maka semua itu tidak berlaku bagiku untuk sekarang ini. Aku ingin masuk dan berdiri disana, meski itu benar-benar sangkar burung sekalipun. Setidaknya aku tidak sendirian disangkar burung yang lain dan berdiri didepan sambil ditatap ratusan pasang mata. Itu sangat memalukan.
Aku terus merutuki kecerobohan dan kebodohanku sendiri. Bagaimana tidak, aku telat bangun di senin pagi dan lupa untuk menaiki angkutan umum. Double stupidity. Apa mungkin karena terlalu biasa jalan kaki jadi lupa adanya kendaraan? Oke. Itu juga kebodohanku yang lainnya, abaikan saja.
Tubuhku menegang ketika bukan pak satpam yang membukakan pintu, melainkan anggota komite kedisiplinan jika dilihat dari warna tanda pengenal yang terikat dilengannya itu, warna merah.
Gadis dibalik gerbang itu menatapku dengan wajah yang kurang bersahabat. Tidak aneh dia begitu, lagian siapa juga sih yang mau tersenyum ke orang yang baru melanggar aturan? Pengendara motor tadi juga kini sudah berdiri disampingku setelah memarkirkan kuda besinya.
"Buka" ucapnya datar.
Aku yang tidak asing dengan suara yang berada disampingku pun menoleh secepat kilat. Ralat, bukan menoleh tapi mendongak mengingat dia yang bertubuh tinggi. Seketika mataku melebar dibalik poni yang tersingkap. Si anak baru, dia disampingku.
🎐🎐🎐
Disinilah aku sekarang, bersama manekin yang dianugerahi nyawa oleh Tuhan dan Si Serigala yang berperangai arogan. Aku –maksudku kami– kini sedang ada dilapangan indoor sekolah setelah tadi aku dan Ezra berlari dilapangan selepas upacara selesai. Sebelumnya kami berdua diceramahi terlebih dahulu oleh Bu Zesi, guru BK sekolah Reka Karya. Kemudian kami juga diperingati oleh anggota komite kedisiplinan, terutama oleh ketuanya, Ettan.
Lelah rasanya ketika pagi tadi berlari dari rumah ke sekolah, kemudian dihukum kembali untuk menjadi pelari maraton. Tolong, aku tidak suka hukuman itu. Menjadi pelari maraton dadakan itu sangat tidak nyaman. Bukan karena malas atau panas, tapi karena tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Baru sekali, sekarang untuk kedua kalinya aku dihukum berlari dilapangan. Cukup dua kali saja, tidak untuk yang ketiga kalinya.
Seperti yang aku bilang tadi, kami berdua kembali melanjutkan hukuman sebagai 'pembersih' sekolah yang tentu diawasi oleh Ezra, si ketua komite kedisiplinan. Sebenarnya aku curiga, dia mengajukan diri yang kemudian dipilih menjadi ketua komite kedisiplinan itu bukan murni untuk membantu Aparat Osis, tapi hanya untuk bolos dijam pelajaran saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
A M E
Fiksi Remaja[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Aku tidaklah istimewa. Masih sama seperti manusia pada umumnya, butuh makan, mandi, dan tidur. Meski tidur yang ku sebutkan terlalu berlebihan. Yahh, aku memang suka tidur. Ame. Namaku Ame. Hanya Ame, mungkin. Peranku...