AME 🎐 03

1.4K 158 0
                                    

Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, ketika aku dihukum Pak Bram, aku memilih menjadi anak baik untuk sementara waktu. Aku tidak mau bertemu lagi dengan manusia tidak jelas bernama Ettan.

Seperti sekarang ini, aku tidak menelungkupkan wajahku lagi diatas meja, malah sebaliknya. Sekarang aku menatap ke depan, ke papan tulis penuh coretan rumus yang sudah memenuhi otak kecilku ini.

Rasanya pusing sekali. Hari minggu kemarin, satu hari suntuk aku bermain game yang baru dibeli. Mumpung uang bulananku sudah ditransfer Ibu dan ditambah uang jajan dari Ayah, aku langsung membeli game keluaran terbaru tahun ini.

Rasanya hidup aku sudah cukup hanya dengan makan, tidur, dan main game. Bukannya tidak ada gairah hidup, tapi aku memang seperti ini orangnya. Tidak mudah bergaul dengan orang lain. Kadang kepekaan aku malah berujung tidak baik. Karena kepekaan itu juga aku memilih tinggal sendiri dari pada ikut Ayah dan Ibu tinggal di Jepang.

Oke itu tidak penting, back to topic.

Terhitung satu minggu aku menjadi anak baik. Menghindar sebisa mungkin dari yang namanya hukuman. Jika tidak, maka sia-sia saja aku menjadi anak baik selama seminggu ini.

Pak Bram yang memang menjadi hakim langgananku pun heran melihat perubahanku, apalagi teman sekelasku. Tapi mereka tak terlalu ambil pusing mengenai perubahan sikapku ini. Yang aku tahu pasti, Pak Bram sangat-sangat bersyukur karena anak didiknya yang baik ini sudah bisa berubah.

Tak terasa bel istirahat pun berbunyi. Aku yang mendengarnya serasa mendapat euforia tersendiri setelah dua jam duduk dengan mata yang terus melotot menatap rumus-rumus yang membosankan itu.

Kelas menjadi riuh, suara helaan nafas silih bersahutan terdengar bersamaan dengan gerutuan mereka yang lelah dengan mata pelajaran ini. Aku pun sama, lelah.

Rasanya seperti terbebas dari belenggu tak kasat mata yang mengekang kami semua lalu hilang dalam sekejap karena deringan panjang penyelamat kami.

Lama menunggu mereka keluar menuju kantin sekolah. Aku pun beranjak, membawa bekal makan siangku dan memilih makan ditaman belakang sekolah. Awalnya aku selalu makan siang dikelas, tapi tidak untuk minggu-minggu sekarang.

Seperti kataku tadi, aku sedang menghindar dari predator berjenis laki-laki bernama Ettan yang selama beberapa hari terakhir ini sering mengunjungiku dengan alasan memperbaiki nilai atas semua hukuman yang menimpaku. Padahal nilaiku cukup memuaskan untuk seukuran orang pendiam sepertiku.

Sesampainya ditaman belakang, aku langsung duduk di satu-satunya bangku disana. Aku menengok kiri kanan, memastikan tidak ada orang ditempat itu selain aku. Setelah merasa aman, seperti biasa aku mengikat dan menjepit rambutku. Kemudian makan dengan tenang.

Baru beberapa menit aku makan, suara langkah kaki tiba-tiba terdengar. Buru-buru aku melepas ikatan dan jepitan dari rambutku, kemudian menengok ke sumber suara.

"Oh cuman dia" ucapku dalam hati.

"Haii" sapanya ketika sampai dan duduk disampingku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian melanjutkan makananku tanpa mengacuhkannya.

"Lo biasa makan disini?" tanya nya dan langsung dijawab anggukan olehku.

"Sendirian?"

Aku mengangguk.

"Boleh gue temenin?"

Aku terdiam. Menoleh padanya dan menyelidik apakah ada maksud lain dia mendekatiku atau tidak.

Aku mengangguk dan dia langsung tersenyum lebar, amat sangat lebar, seperti baru mendapatkan hadiah yang ditunggu-tunggunya.

Aku yang melihat itu pun ikut tersenyum dibalik rambut sebahuku.

"Lo tau gue nggak? Gue temen sekelas lo yang duduknya disamping meja lo,"

"Aku tau"

Aku mengangguk.

"Gue tuh udah lama banget pengen ajak lo ngobrol kayak gini, tapi lo nya susah dideketin. Selama setengah tahun lho gue gak bisa tenang karena mikirin lo. Cuman lo aja temen dikelas yang belum ngomong sama gue. Padahal lo itu pendek tapi lucu, sama kayak adek gue dirumah," ucapnya lagi sambil terus memakan roti isinya.

Aku tidak tersinggung karena ucapannya, karena itu memang fakta.

Aku tahu dia. Namanya Kanya Jia Deciva. Dia baik dan terlalu jujur. Suka banyak bicara dan tidak bisa diam. Meski begitu dia sangat mudah dibodohi oleh teman sekelas karena kebaikannya.

Aku tidak peduli, selama dia dan teman kelas lainnya tidak mengusik kenyamananku. Lagian aku suka saat mereka tidak mempedulikan aku. Kadang saat Kanya terlalu baik aku sangat ingin memarahi dan mengutuk kebodohannya itu.

"Ame, ngomong dong. Masa dari tadi gue terus yang nyerocos" ujarnya dengan tampang cemberut.

Ame. Namaku Ame. Entah kenapa rasa lega yang aku rasakan malah membuat sesak dihati yang lain. Kanya tahu namaku. Dia tahu. Tapi apa peduliku kan? Dia cuman orang luar.

"Lo gak nyaman ya sama gue?" tanya nya, kini wajah cerahnya mendadak sendu. Gurat kesedihan sangat kentara dimatanya.

"Gue tau mereka cuman manfaatin gue. Tapi gue gak bisa nolak mereka. Gue cuman peng--"

"Semakin maju dunia, semakin keras juga kehidupan. Itu yang selama ini aku pelajari. Terlalu baik didunia yang kejam ini malah akan menjerumuskan kamu ke dalam masalah dan bahaya. Kalo gak suka bilang nggak, kalo capek tinggal berenti. Buat apa dipaksa kalo ujung-ujungnya malah buat kamu jadi orang lain, bukan jadi diri sendiri" potongku cepat.

Hening. Hanya suara gemerisik pepohonan yang terdengar. Hingga beberapa saat kemudian, isak tangis terdengar disampingku.

"Gu-gue terharu. Akhirnya lo ngomong sama gue" bisiknya.

Aku menoleh dengan cepat, membulatkan mataku saat tiba-tiba sebuah pelukan mendekap dengan erat.

"Akhirnya lo ngomong jugaa. Huaaa gue senenggg" teriaknya sambil menangis.

"Sebenarnya dia nangis karena bener-bener seneng atau hanya pura-pura nutupin lukanya sih?"

"Gue seneng bangettt!!" serunya sambil mengurai pelukannya dariku.

Kanya menghapus cepat sisa-sisa tangisnya, kemudian mengulurkan tangan padaku. Dia menatapku antusias, sedangkan aku hanya menatap tangan itu tidak berminat.

Namun beberapa detik berikutnya, Kanya malah menarik paksa tanganku untuk menyambut uluran tangannya.

"Sekarang lo temen gue" ujarnya sambil tersenyum lima jari.

"Kanya bodoh" ucapku sarkas. Namun sudut bibirku tak bisa berbohong, begitu pun dengan hati.

Aku harap tanganku tidak akan pernah menyakitinya.

🎐🎐🎐

921 kata


- 28 Juni 2021 -
Hatpahat



A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang