Aku takut memulai suatu hubungan. Takut merusak sesuatu yang mereka anggap berharga, yang mereka jaga sepenuh hati. Takut kalau-kalau mereka tidak nyaman dengan kehidupanku yang membosankan ini.
Aku suka dengan keheningan, kesendirianku dan tidak ada seorang pun yang mengusik kehidupan nyamanku ini. Anggap saja aku anti-sosial, karena memang itulah kenyataannya.
Tapi lihatlah sekarang. Pulang yang dulunya hanya ditemani semilir angin dan sepenggal lagu, malah berganti dengan sebuah ocehan hangat disepanjang jalan.
Apakah baik tindakanku ini? Menyambut uluran tangannya meski dipaksa apakah akan memengaruhi kenyamanan Kanya kedepannya? Ingin sekali aku bertanya padanya, apakah dia tidak akan menyesal?
"Jadi disini rumah lo?" tanya Kanya membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh padanya dan mengangguk. Sungguh tak terasa waktu berlalu dengan sangat cepat ketika ada seseorang berjalan pulang bersama. Rasa hangat ini malah membuatku takut.
Aku membuka pagar rumah, kemudian membuka pintu dengan kunci yang selalu aku bawa kemana-mana. Tanpa disuruh, Kanya terlebih dahulu masuk dibandingkan pemilik rumahnya. Tapi sikapnya tidak membuatku merasa terganggu.
"Waahh rumah lo nyaman banget ya Me," serunya. Tanpa tahu malu Kanya langsung menuju dapur, mengorek makanan atau minuman yang ada.
Aku memilih menaiki tangga, menuju kamar kemudian segera berganti pakaian. Baru aku akan membuka pintu menemui Kanya dibawah, tapi orangnya malah sudah masuk duluan ke kamar ini.
"Gila, kamar lo keren banget Me! Gue gak nyangka, gue kira yaa kamar lo bakalan penuh sama buku. Ehh tapi nyatanya nggak, meski ada lemari buku juga sih" serunya lagi. Mungkin dalam bayangan Kanya karena aku pendiam dan tergolong rajin --meski langganan mendapat hukuman--, kamarku akan sesak karena penuh dengan buku.
Aku suka warna biru. Saking suka nya kamarku ini tak ubahnya seperti lautan yang terpantul cahaya matahari. Biru yang berkilauan. Banyak furin --lonceng angin khas Jepang-- yang menggantung diatap kamarku.
Aku membuka pintu kaca balkon, membiarkan angin masuk, membuat furin yang ada dikamar dan diluar balkon berbunyi tertiup angin. Dan melodi indah itu yang selalu membuatku nyaman berdiam diri dikamar, begitu pun sekarang.
Kanya menghela nafas lega kemudian menghempaskan tubuhnya diatas kasur.
"Rasanya gue pengen nginep disini deh, nyaman banget" ujarnya yang kini tengah menutup mata menikmati gemerisik lonceng angin dikamarku. Aku tersenyum mendengar Kanya nyaman berada disini.
"Boleh" jawabku yang ikut berbaring disebelahnya. Poniku tersingkap dan kini memperlihatkan wajahku yang selama ini selalu aku tutupi dengan menundukkan kepala.
"Emangnya bakal dibolehin sama bokap nyokap lo gitu?" tanya Kanya sambil menoleh padaku.
"Boleh" jawabku lagi.
"Beneran boleh?!" tanyanya lagi, memastikan apakah ucapanku benar atau tidak.
"Iya"
"Yaudah, malem ini gue bakal nginep disini" ucapnya sangat antusias.
"Btw, nyokap lo mana? Gue mau minta ijin sekarang aja. Tapi gue liat-liat dari tadi gak ada nyokap lo, dibawah juga sepi" lanjut Kanya.
"Di Jepang" jawabku.
Kanya mengerutkan dahinya, kemudian duduk bersila menghadapku.
"Terus disini lo tinggal sama siapa?"
"Sendiri"
Kanya membulatkan matanya tak percaya, "Seriusan lo?!" teriaknya.
Aku menoleh padanya dan mengangguk. Kanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A M E
Jugendliteratur[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Aku tidaklah istimewa. Masih sama seperti manusia pada umumnya, butuh makan, mandi, dan tidur. Meski tidur yang ku sebutkan terlalu berlebihan. Yahh, aku memang suka tidur. Ame. Namaku Ame. Hanya Ame, mungkin. Peranku...