AME 🎐 16

1.3K 120 8
                                    

"Ucapan hanyalah ucapan. Jangan pernah kamu terbuai kata-kata manis penuh janji yang bahkan belum tentu ditepati."

- Ame -

.
.
.
.
.

Hanya senyum yang bisa aku ulas melihat keempat manusia yang tengah bercengkrama di ruang tamu, saling tertawa bahagia. Ingin aku bergabung dengan mereka, tapi rasanya terlalu canggung. Meski kita adalah keluarga, tapi ada jarak tak kasat mata yang membentang, terutama antara aku dan Mama. Entah kapan hal itu terjadi, aku lupa atau mungkin ingin lupa. Entahlah.

Aku beranikan kakiku untuk melangkah mendekati mereka, senyum masih aku ulas, "Ame udah masak. Ayo kita makan, nanti masakannya dingin." ajakku pada mereka.

Semua obrolan terhenti, kini atensi mereka sepenuhnya ada padaku. Aku yang ditatap seperti itu hampir tidak bisa mempertahankan senyum yang terulas.

"Yuri, Nana, kalian mau makan lagi?" tanya Mama, dia bahkan mengabaikan ajakanku.

Yuri menggeleng, "Nggak Ma. Yuri masih kenyang, tadi kan di mall Yuri makan banyak."

"Nana juga masih kenyang Ma. Nanti aja makannya kalo udah laper." ucap Nana.

Mama mengangguk, dia beralih menatapku, "Tadi kita udah makan, sekarang masih kenyang. Kalo kamu lapar, makan aja. Jangan nunggu kita." kata Mama lalu kembali beralih pada 'keluarganya'.

Aku meremas jemariku yang dingin kemudian mengangguk lalu pergi meninggalkan ruang tamu yang entah kenapa terasa sesak untukku bernafas. Rasa apa lagi ini? Permainan macam apa yang mereka coba mainkan? Drama apa yang mereka perankan? Aku....tidak mengerti.

Mama. Mama berubah. Aku tidak mengenal Mama lagi, atau mungkin Mama yang tidak mengenaliku?

Dengan tergesa-gesa aku menaiki tangga menuju kamar. Mencoba menenangkan diri dari emosi yang berkecamuk. Sesampainya disana aku melangkah cepat menuju pintu balkon, membukanya lebar-lebar sehingga angin berhembus dan membunyikan puluhan furin yang menggantung dilangit-langit kamarku.

Berisik, tapi alunan melodinya mampu menenangkanku. Aku mencengkram pagar balkon yang menjadi tumpuanku. Lagi dan lagi rasa sesak ini muncul, mengingatku kembali pada masa yang telah membuatku seperti ini.

Flashback

"Ame, jika Mama menikah lagi apa kamu tidak keberatan nak?" tanya Mama.

Aku diam, masih mencerna perkataan Mama. Maksudnya Mama ingin menikah lagi? Mama jatuh cinta lagi selain kepada Papa? Apa Mama terlalu kesepian meski aku selalu bersamanya? Atau jangan-jangan Mama tidak menyayangiku lagi? Jangan-jangan--

"Tidak sayang, bukan begitu. Mama akan selalu sayang pada Ame. Kamu segalanya buat Mama, tidak akan pernah ada yang menggantikan anak manis sepertimu dihati Mama." ucap Mama tiba-tiba yang berhasil membuatku terkejut. Kenapa Mama bisa tahu apa yang aku pikirkan?

"Bibirnya jangan digigit, nanti sakit sayang..." lanjutnya dengan mengusap daguku lembut.

Ah aku mengerti sekarang, ternyata hal kecil ini yang membuat Mama tahu apa sedang aku pikirankan. Ternyata benar, seorang Ibu akan selalu mengerti perasaan dan apa yang dipikirkan anaknya. Se-peka itukah insting seorang Ibu?

"Mama..." ucapanku tergantung, bingung harus bicara apa.

"Mama sayang sama Ame?" tanyaku akhirnya. Entah kenapa hanya kalimat itu yang terpikirkan olehku.

Mama mengangguk sambil tersenyum, matanya berbinar lembut, "Tentu. Mama sangat sayang sama Ame. Sangat, sangat sayang. Sebesar iniiii" jawabnya sambil merentangkan tangan lebar-lebar.

A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang