"Hanya bibir yang menyebut nama, tapi kenapa malah hati yang senyum?"
- Kanya Jia Deciva -
Langit sore hari ini tidak semuram kemarin yang ingin menumpahkan bebannya. Semburat jingga itu kini melukis langit dengan gradasi warna yang memukau. Tiap detik dan tiap menitnya aku tatap dikejauhan, sampai matahari hilang sempurna dan berganti shift dengan bulan. Sejenak terlintas dipikiranku. Jika matahari itu makhluk hidup, apakah dia tidak pernah merindukan bulan yang ditinggal dalam kegelapan?
Ceklek
Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari langit yang kini mulai muncul kerlap-kerlip ribuan bintang.
"Ame sini, gue mau maskerin lo" ujar Kanya yang baru selesai mandi. Seperti biasanya, dia menginap disini setiap malam minggu.
Aku pun melangkah masuk, menutup pintu balkon dan tirai untuk menghalau dingin. Kini Kanya tengah sibuk mempersiapkan semua bahan 'ritualnya'. Aku memilih duduk didepan monitor dan mengambil konsol game-ku. Untuk apa?? Ya sudah pasti untuk bermain game.
Baru beberapa menit berlalu, Kanya memanggil, "Ame buruan sini ihh! Kayak cowok aja lo mah main game terus!" serunya.
Aku tidak menghiraukannya, lebih tepatnya aku sudah sangat fokus ke layar monitor didepan mataku. Kanya lagi-lagi memanggil, bahkan berteriak dan mengumpat kesal. Dan tentu, hal itu tidak membuatku mengalihkan atensi dari pertarungan sengit didepan. Hingga pertarungan tengah berada dipuncaknya, tiba-tiba layar monitor mati. Aku menggeram kesal, sudah pasti ini perbuatan Kanya.
"KANYA JANGAN MAIN-MAIN!!" teriakku.
Sungguh, sekarang rasanya aku ingin mencakar wajah Kanya hingga berteriak meminta ampun dan tidak mengusiliku terus menerus. Tidak-tidak, itu terlalu kejam.
"Apa?" tanya Kanya menantang, "Mau nyalahin gue hah?" lanjutnya lagi sambil bersedekap dada, dilanjut dengan dagunya yang menunjuk stop kontak disudut ruangan.
Aku mengikuti arah pandangnya dan mendapati ketiga kucingku tengah bermain dengan kabel yang terhubung dengan layar monitor game-ku. Ingin marah tapi tidak bisa, karena bagaimana pun juga kadar tingkah mereka sudah melebihi kata lucu dimataku.
Karena gemas, aku pun menghampiri mereka kemudian memeluk dan menciumnya berkali-kali. Tidak seperti kucing lainnya yang akan memberontak jika diperlakukan tidak nyaman seperti ini. Mereka malah menjadi lebih diam dan sesekali menjilat pipiku, seolah memang tengah menunggu hal ini. Aku tertawa geli dengan tingkah manis mereka, begitu pun dengan hatiku yang seketika tergelitik, menghangat.
"Kucing aja lo sayang-sayang, lah gue malah dibentak!" seru Kanya sambil mencak-mencak.
Aku hanya terkekeh ringan, kemudian menghampiri Kanya yang duduk diatas kasurku. Tidak lupa, ketiga kucingku pun aku bawa, membiarkan mereka bermain diatas kasur. Setelahnya, aku berbaring disamping Kanya yang sedang merajuk sambil memainkan ponselnya.
"Katanya mau maskerin," ujarku pelan sambil menutup mata, bersiap untuk di 'operasi' oleh dokter Kanya yang super bawel.
Aku mengintip sedikit melihat Kanya yang sudah tersenyum lebar dan menyimpan ponselnya disampingku. Dasar Kanya, dia itu selalu menularkan apapun disekitarnya, termasuk senyumnya itu.
"Kata Nyokap gue, cewek itu penting buat perawatan atau bersolek. Bukan buat orang lain, tapi buat diri sendiri. Kalo udah punya suami sih ya buat suami juga" tutur Kanya sambil mengikat rambutku dan memasangkan bando agar rambut-rambut halus didahiku tidak terkena maskernya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A M E
Novela Juvenil[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Aku tidaklah istimewa. Masih sama seperti manusia pada umumnya, butuh makan, mandi, dan tidur. Meski tidur yang ku sebutkan terlalu berlebihan. Yahh, aku memang suka tidur. Ame. Namaku Ame. Hanya Ame, mungkin. Peranku...