AME 🎐 22

409 60 3
                                    

"Dunia memang sebercanda itu. Kadang kita mati-matian menjaga hati, tapi ada celah sedikit saja bisa membuatnya jatuh tak berkesudahan. Terkikis sedikit demi sedikit hingga tak bersisa."

- Ame -





"Ame selesai" ucapku menyudahi sarapan pagi ini.

Masih banyak makanan yang tersisa dipiring, namun perutku terasa mual dan lidahku pahit ketika menyecap makanan. Mungkin faktor karena aku sakit.

"Kenapa gak dihabisin?" tanya Mama.

Aku menggeleng pelan, "Kenyang Ma."

Yuki berdecih, "Alasan. Paling dia gak suka masakan Mama, makanya gak dihabisin. Kalo aku meski kenyang bakal tetep makan masakan Mama sampe habis tuh!"

Aku diam, tidak berminat membantah sama sekali tuduhan Yuki. Bukan karena ucapannya benar, tapi karena aku tidak mau melanjutkan pembicaraan ini, sebab ujung-ujungnya pun sama, Yuki akan tetap memojokkanku dan sandiwara di meja makan pun tidak akan pernah berakhir.

"Bener kata adik kamu, Ame? Kamu gak suka masakan Mama?" selidik Mama.

Aku menggeleng, "Nggak Ma"

"Terus kenapa gak dihabisin sarapannya?"

"Kan Ame udah bilang, Ame kenyang Ma." jawabku sedikit lelah. Karena setiap kali aku ingin bicara, rasa mual itu malah bertambah.

"Bohong! Mama gak percaya."

Aku menatap Mama kecewa, lagi dan lagi aku mendapat luka dari orang yang selama ini aku percaya, yang selama ini aku sayangi dan hormati. Apa masih belum cukup dengan Mama yang melanggar janjinya dulu?

"Apa Mama tahu se-sepi apa rumah ini tanpa Mama? Sebesar apa rindu Ame sama Mama? Bahkan hal kecil seperti masakan Mama pun kadang Ame pengeeeenn banget nyicipin lagi gimana rasanya. Terus sekarang Mama bilang gak percaya kalo Ame suka masakan Mama dan lebih percaya sama omongan putri baru Mama? Sebenarnya siapa yang lebih lama tinggal bareng Mama, aku atau Yuki?"

Ingin rasanya aku meneriaki semua itu keras-keras. Tapi apa daya, tidak ada keberanian dalam diriku untuk melantangkannya. Rasanya tiap aku ingin mengungkapkan semua isi hatiku, lidahku kelu, kata yang sudah diujung lidah pun hilang sebab kalah dari rasa takutku. Aku sangat benci diriku yang seperti itu.

"Mama lebih tau apa yang Ame suka dan apa yang Ame benci." jawabku tanpa memutus pandangan dari Mama.

Mama terdiam, dia masih menatapku dengan tatapan yang sulit aku jelaskan.

"Alasan teruuuuss!" ucap Yuki memanas-manasi situasi tidak mengenakkan antara aku dan Mama.

"Udah-udah. Ame bilang kan kenyang, jangan dipaksa terus dong. Dan kamu Yuki, berenti nuduh kakak kamu yang nggak-nggak!" lerai Ayah yang menyadari situasi sekarang sedang tidak baik.

Yuki mencebikkan bibirnya kesal, lalu melanjutkan sarapannya yang tertunda.

Aku berdiri lalu berjalan kearah  Ayah dan Mama untuk berpamitan.

"Ame berangkat, Ayah." pamitku pada Ayah sambil mencium tangannya.

Aku beralih pada Mama dan melakukan hal yang sama, "Ame berangkat, Ma."

"Kamu naik apa ke sekolah?" tanya Ayah tepat setelah aku berpamitan pada Mama.

"Jalan kaki." jawabku pendek.

"Lho kenapa gak naik angkot aja? Apa uang kiriman Mama kurang?" kini giliran Mama yang bertanya.

Aku menggeleng, "Ame lebih suka jalan kaki."

A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang