"Membenci diri sendiri adalah ketakutan yang tidak bisa aku sembuhkan selama bertahun-tahun"
- Ame -
Perasaanku memang sudah tidak baik sejak aku bangun tadi pagi. Akan berkali-kali lipat tidak baiknya ketika hal itu menjadi nyata. Lihatlah, baru juga aku masuk kelas tapi sekarang semuanya menatapku dengan penasaran. Aku menghampiri Kanya yang kebetulan berdiri di samping pintu seperti tengah menunggu seseorang datang.
"Akhirnya dateng juga.." ucap Kanya penuh kelegaan.
Aku mengerutkan dahiku, "Ada apa Kanya? Terus kenapa semua orang natap aku kayak gitu?" tanyaku.
Kanya meraih lenganku untuk lebih dekat, dia berbisik "Wajar aja mereka kayak gitu,"
"Maksudnya?"
"Si pangeran sekolah pagi-pagi udah ada di kelas kita, nanyain lo!" serunya dalam bisikan.
Tubuhku menegang ketika mendengar 'pangeran sekolah', tentu semua orang tahu siapa yang mendapat julukan itu. Napasku tercekat ketika mendapati Ettan kini tengah duduk dengan santainya di kursiku. Refleks aku menggeser tubuhku sedikit merapat dengan Kanya, berharap tubuhnya bisa menyembunyikanku dari Ettan.
"Ngumpet juga gak bakalan ngaruh, lo tetep keliatan." ketus Ettan sambil menghampiriku.
Aku semakin merapatkan tubuhku dengan Kanya dan menjaga jarak dengan Ettan. Aku memutuskan untuk tidak pernah berurusan lagi dengannya. Apalagi setelah kejadian kemarin, ditambah lagi malam tadi dia terus menghubungi dan menggangguku dengan pesan beruntunnya, aku merasa Ettan semakin gila dari hari ke hari.
Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika Ettan menarik paksa tanganku dari Kanya. Sakit, pergelangan tanganku sakit karena Ettan terlalu kuat mencengkramnya.
"Kemarin kemana? Lo pulang sama siapa? Kenapa telepon sama chat gue gak dibales? Mau ngehindar lagi dari gue? Iya?!" tanya Ettan beruntun dengan mata penuh amarah.
Aku hanya diam, meringis dan mencoba berusaha untuk melepaskan cengkramannya dari tanganku.
"JAWAB!!" sentak Ettan, dia semakin mengeratkan cengkramannya pada tanganku.
Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan sakit dengan mata yang berkaca-kaca, rasanya tanganku akan patah jika Ettan mengeratkan tangannya sekali lagi. Aku memberontak, menarik paksa tanganku agar terlepas dari genggamannya. Tapi itu mustahil, kekuatannya dengan kekuatanku tidaklah sebanding.
"L-lepas, sakit Kak!!"
Bukannya melepaskan tangannya dariku, Ettan malah mendekat dan berbisik dengan suara yang terkesan dingin, "Gue tanya kemarin lo kemana?"
Tubuhku gemetar ketakutan, apalagi ketika melihat semua teman kelas menatapku sambil berbisik-bisik. Suaraku tercekat dan darahku seperti terhambat. Lagi, hal ini terjadi lagi. Aku lemah terhadap tatapan mereka, aku lemah terhadap ketakutanku sendiri, aku lemah--.
"GUE TANYA SAMA LO KEMARIN KEMANA?! JAWAB AME!!" sentak Ettan lagi.
"A-ak...A-aku..." nafasku berat dan suaraku tertahan di tenggorokan. Aku menoleh menatap Kanya, berharap dia bisa menolongku dari situasi ini.
"Kak, tolong lepasin Ame. Dia--"
"Dia sama gue." ucapan Kanya terpotong oleh Ezra yang baru memasuki kelas. Kini kelas menjadi hening setelah suara itu keluar dari mulutnya.
Ezra melangkah ke arahku kemudian mencengkram tangan Ettan dan menyentaknya kasar. Aku mendongak menatap punggung Ezra yang tepat berada dihadapanku.

KAMU SEDANG MEMBACA
A M E
Teen Fiction[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Aku tidaklah istimewa. Masih sama seperti manusia pada umumnya, butuh makan, mandi, dan tidur. Meski tidur yang ku sebutkan terlalu berlebihan. Yahh, aku memang suka tidur. Ame. Namaku Ame. Hanya Ame, mungkin. Peranku...