Jam istirahat berbunyi. Akhirnya tangan aku bisa bebas kembali. Menahan beban kursi diatas kepala sangat melelahkan, menguras tenaga sampai perut terus membatin minta diisi.
Pak Bram keluar kelas, menatap tajam ke arahku.
"Ikut bapak sekarang" ujarnya.
Aku diam, ingin mengumpat tapi tahu diri dimana posisi aku sekarang. Aku terdakwa, dan Pak Bram hakimnya. Meskipun begitu, aku tidak bisa melawan karena beliau tetaplah guruku.
Aku hanya mengangguk menjawab Pak Bram. Padahal didalam hati, disepanjang jalan aku terus merutuki kebodohanku yang kecolongan tidur. Dan satu lagi, aku sangat lapar.
Setibanya kami diruang guru, beliau langsung memintaku duduk didepan meja kebanggaannya. Buat aku, meja Pak Bram tekanannya lebih berat dibanding meja guru BK. Entahlah, sekarang aku hanya pasrah menerima apapun hukumannya. Lagian aku sudah terbiasa.
"Tidur dikelas. Kamu tau hukumannya apa?" tanya Pak Bram penuh intimidasi.
Aku mengangguk.
"Jawab! Kalau saya bertanya itu jawab!" serunya sangat kesal. Yahh siapa sih yang tidak kesal menghadapi sikapku yang luar biasa. Hahaha...
"Tau pak" jawabku pada akhirnya. Ini kalimat pertama yang aku sebut hari ini. Padahal aku ingin memecahkan rekor 'tidak bicara' ku hari ini.
Pak Bram menghela nafas berat. Memijit pangkal hidungnya.
"Mungkin kram karena banyak nafas,"
"Seperti biasa, jalani hukuman kamu. Awas jangan berani buat kabur!" ancamnya padaku.
Lagi-lagi aku mengangguk sebagai jawaban. Kemudian pergi meninggalkan meja penghakiman itu tanpa sepatah kata pun.
"Sangat tidak sopan" ujar Pak Bram geram.
Aku mendengarnya, tapi cukup disimpan saja dibagian yang tidak penting disudut hatiku. Hatiku luas, cukup buat menampung cibiran orang-orang. Yahh mau bagaimana lagi, sudah terbiasa.
🎐🎐🎐
Jam istirahat kali ini aku biarkan perutku tetap meronta sampai hukumanku ini selesai.
Menghela nafas pelan, sejenak menyeka peluh yang membanjiri kening dan pelipisku. Kemudian aku lanjutkan mencabut rumput taman belakang sekolah sampai bersih.
Bukan hanya itu, pulang sekolah nanti aku tetap harus melanjutkan hukumanku, menanam bibit-bibit bunga. Kasarnya, hukumanku adalah menjadi tukang kebun dadakan.
Pertama, tidur dikelas hukumannya menjadi tukang kebun. Kedua, melamun dikelas hukumannya menjadi pelari maraton. Ketiga, baca komik atau novel dikelas hukumannya menjadi pengurus perpustakaan. Keempat, belum ada rekor untuk yang keempat. Hanya sebatas itu hukumanku selama setengah tahun menjabat siswi di sekolah ini.
"Lima menit lagi jam istirahat selesai. Cepet kelarin" ucap pemilik suara bariton itu. Dia ketua bidang kedisiplinan, Ettan Dygran Redafa.
Aku melirik lewat ekor mataku yang tertutup poni, tidak menoleh. Kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban. Aku alihkan kembali atensiku ke rumput dibawah, melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Aku tahu dia masih menatapku, mengawasi. Itu sebabnya aku tidak bisa mencuri waktu barang sedetik pun hanya untuk minum. Dari awal masuk sekolah, dia memang sudah seperti bodyguard ketika aku mendapati hukuman, mengawasi sesuai tugasnya sebagai anggota komite sekolah.
Derap langkah kaki terdengar mendekat, disusul teriakan seseorang.
"Ettaan!" seru seorang perempuan cantik bernama Friya Asyifa, pacarnya Ettan.
Dia cantik dengan rambut panjang bergelombangnya yang suka diurai. Mata bulatnya selalu tampak ceria, begitu pun senyumnya yang ramah. Sungguh beruntung sekali Ettan memiliki pacar seperi Friya.
Ettan yang mendengar seruan Friya menoleh, tersenyum lebar menatap kekasihnya mendekat.
"Ada apa?" tanyanya ketika Friya sampai.
"Tadi aku mau ngasih ini tapi lupa, soalnya tadi aku nemenin Gia dikantin. Maaf ya," ucapnya pelan sambil menunduk memilin-milin jarinya.
Ettan tersenyum lagi, mengambil alih kotak makan --yang entah apa isinya-- itu.
"Gapapa, biar nanti aku makan sepulang sekolah"
"Emangnya sekarang ada rapat komite lagi?" tanya Friya.
Ettan menggeleng, "Nggak. Aku masih ada tugas. Ngawas orang yang biasa dihukum" jawabnya sambil menunjukku dengan dagunya.
Aku hanya diam, padahal sedari tadi aku menguping plus mengamati gerak-gerik mereka. Ettan yang santai seperti biasa, dan Friya yang selalu malu dan salah tingkah seperti biasa. Mereka sejoli yang sangat cocok dimataku.
Menyenangkan sekali bisa sedekat ini dengan mereka yang selalu digandrungi oleh semua siswa-siswi sebagai best couple, termasuk aku. Aku kagum melihat mereka berdua bersanding. Kadang aku suka berpikir bagaimana rasanya memiliki kakak sungguhan seperti mereka. Yang satu cantik dan ramah, yang satu tampan dan keren.
Senang sih bisa sedekat ini dengan mereka, meskipun sedikit lancang karena menguping pembicarannya. Mau bagaimana lagi, aku kan masih punya telinga dan tidak tuli. Tolong maklumi saja ya teman-teman.
"Ohh dia lagi. Adik kelas kita kan?" tanya Friya yang diangguki Ettan.
Friya tersenyum senang, "Siapa namanya" tanyanya lagi.
Ettan mengedikkan bahu, "Gak tau. Tapi dibuku hukuman sih namanya Ame" jawabnya.
Aku tersenyum miris tanpa mereka ketahui. Saking seringnya dihukum Ettan sampai tahu namanya. Padahal temen sekelasnya saja sering lupa nama aku siapa. Meski dilihat dari pandangan buruk, seenggaknya aku seneng karena ada yang tahu namaku.
"Makasih" ucapku pelan. Kalau orang yang tidak waspada memasang telinga, pasti ucapanku hanya terdengar seperti bisikan.
Aku melirik ke arah mereka berdua. Bertepatan dengan itu, mataku bersirobok sekilas dengan tatapan Ettan.
"Ah gawat!" ucapku dalam hati, refleks menutup mulut dengan sapu tangan yang kotor karena tanah sehingga mengotori sebagian wajahku.
Aku tidak peduli, yang aku cemaskan hanya ucapanku tadi. Ettan mendengarnya. Aku kecolongan, meski aku sering mengamati sekitar aku lupa pendengaran Ettan itu sangat tajam.
Aku kembali melirik Ettan lewat ekor mata. Aku menghembuskan nafas lega karena dia tidak lagi menatapku. Sekarang dia tengah mengobrol hangat dengan Friya yang kadang diselingi tawa.
Aku tersenyum. Tapi tak lama kemudian badanku menegang, mengamati lebih jauh tatapan apa yang diberikan Ettan kali ini padaku.
"Gawat"
🎐🎐🎐
868 kata
- 26 Juni 2021 -
Hatpahat

KAMU SEDANG MEMBACA
A M E
Fiksyen Remaja[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Aku tidaklah istimewa. Masih sama seperti manusia pada umumnya, butuh makan, mandi, dan tidur. Meski tidur yang ku sebutkan terlalu berlebihan. Yahh, aku memang suka tidur. Ame. Namaku Ame. Hanya Ame, mungkin. Peranku...