AME 🎐 13

710 95 9
                                    

"Gue mau lo percaya kalo gue ini malaikat. Entah sekarang atau di masa depan nanti."

- Ezra -

Pulang adalah waktu yang paling aku tunggu. Akhirnya setelah istirahat tadi aku bisa menahan diri untuk tidak berlari menuju kelas, mengambil tas dan melompati tembok yang ada di belakang sekolah agar bisa membolos dan segera mengurung diri di kamar. Setidaknya apa yang dikatakan Ezra sedikit membuatku tenang.

Ya, seharusnya aku tidak mempedulikan apa yang mereka bicarakan terhadapku. Biarkan saja mereka mengatakan hal yang mereka suka meski itu keburukan sekalipun, aku hanya perlu tidak peduli dan menutup telinga seperti biasanya.

Hari ini memang menyebalkan. Periode ku juga membuat emosiku tidak stabil dan menjadikanku seseorang yang salah, orang yang berbeda. Cengeng, penakut, lemah, terlalu banyak berpikir, dan semua hal yang menurutku bukan diriku berubah menjadi diriku.

Seperti biasanya, aku menunggu semua siswa yang ada di sekolah untuk pulang, setidaknya sampai tidak terlalu banyak orang sehingga aku bisa pulang dengan nyaman. Aku berbohong pada Ettan kalau hari ini aku pulang bersama Kanya, nyatanya Kanya saat ini tidak bersamaku, dia ingin membeli buku dan aku tidak mau ikut ketika Kanya mengajakku. Aku terlalu malas hari ini untuk bepergian.

Aku menyusuri koridor hingga sampai di depan gerbang, hal yang patut disyukuri sekarang adalah tidak ada Ettan yang menggangguku. Aku mendongak, menatap awan abu yang mulai menggulung, menyatu dengan awan lainnya sehingga menjadi abu pekat.

Langit terlihat mendung, karena memang sekarang ini sudah mulai musim hujan. Meski begitu, cuaca tetap saja masih tidak menentu walau sudah masuk musim hujan sekalipun. Dan karena itulah aku malas membawa payung. Alasannya sih bukan hanya karena cuaca yang tidak menentu, tapi karena aku merasa seperti dipermainkan setiap aku membawa payung.

Di mana saat aku membawa payung, tiba-tiba saja langit yang sudah sangat mendung sekalipun tidak menurunkan hujan, sedangkan ketika aku tidak membawa payung, hujan akan turun meski awan di langit tidak terlalu mendung. Menyebalkan bukan? Aku yakin, kalian juga pasti pernah mengalaminya, atau mungkin malah sering.

Seperti biasa, aku memakai hoodie hijau tosca dengan telinga yang tersumbat earphone untuk mendengarkan lagu, menemani perjalanan pulangku. Baru beberapa menit setelah aku keluar gerbang, tiba-tiba ada orang yang menepuk pundakku. Aku menoleh sambil melepas sebelah earphone ku.

Aku mengerutkan dahi, "Kamu lagi?"

"Ada apa?" tanyaku sambil menatap kardus kecil yang dibawa orang itu, sama seperti beberapa hari yang lalu saat pertama kali aku dan dia bicara bersama.

"Buat lo lagi." ucapnya sambil menyodorkan kardus itu ke hadapanku.

"Itu...isinya apa?" aku menatap kardus itu dengan penuh curiga.

"Anak--"

"Anak siapa?! Anak kamu?!" pekikku kaget.

"Bukan."

"Terus anak siapa?"

Ezra menghela nafas lelah, "Anak kucing."

"Hah?"

"Anak kucing."

"Hidup atau mati?" tanyaku bodoh.

"Lo bego?"

"Aku pinter."

"Gak nanya."

"Kok ngeselin sih!" gumamku pelan menahan kesal.

"Biasa aja" jawab Ezra.

Aku menatap tajam Ezra dari balik poni, lalu setelahnya menghela nafas pelan, mencoba meredam emosi.

A M ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang