Beberapa hari ini pekerjaanku kacau. Aku tidak fokus. Konsentrasiku berceceran menyebabkan hasil kerjaku revisi berulang. Aku tidak menduga, akibat dari putusnya hubunganku dengan Wishnu akan berpengaruh pada kehidupanku seperti ini.
Beberapa kali Via menyentakku saat menemukanku sedang bengong. Pikiranku tidak jauh-jauh dari Wishnu. Lelaki itu benar-benar memutuskan kontak denganku. Sejak itu, aku tidak pernah tahu kabarnya lagi. Biasanya setiap hari dia akan memborbadir ponselku pada pesan WA yang aku baca sekenanya. Menanyakan hal remeh temeh yang kadang membuatku bosan. Tapi saat semua itu menghilang, rasanya ada yang aneh. Namun, aku juga enggan memulai menghubunginya lebih dulu. Perasaan bersalahku masih menggunung dan itu membuatku takut.
Ya Tuhan, aku sudah mencoba untuk berpikir tenang. Tapi tak bisa. Rafael pun tak luput terkena imbas mood kacauku. Aku menghindari interaksi dengannya kecuali urusan pekerjaan. Aku tahu dia juga merasa bersalah terlebih karena aku yang mendadak bersikap seperti ini. Aku belum bisa bilang semuanya baik-baik saja.
Aku menyesap kopi. Ini adalah cangkir yang ketiga. Rasanya aku butuh kafein lebih.
"Apa tidak apa-apa minum kopi berlebihan seperti itu?" komentar Via menatapku ngeri. "Sejak pagi lo udah tiga kali ganti cangkir, padahal belum jam makan siang. Sebenarnya lo kenapa sih, Lil? Ada masalah sama si Bos? Aku perhatiin dari kemarin kerjaan lo nggak ada yang beres."
"Sorry, kalo gue repotin lo, Vi."
"Gue nggak ngerasa direpotin. Cuma lihat lo kayak gini, gue ngeri sendiri. Apa masalahnya berat banget?"
Aku belum menjawab pertanyaan Via ketika interkom di mejaku bunyi. Rafael memintaku ke ruangannya.
Via menggeleng. "Rekor kalo panggilan ini kerjaan lo revisi lagi."
Aku mengabaikan ucapan Via dan menghela langkah menuju ruangan kabag.
Rafael terlihat sedang membolak-balik sebuah berkas saat aku masuk.
"Ada apa, Pak?" tanyaku saat berada di hadapannya. Kepala Rafael terangkat. Dia menghela napas panjang. Sepertinya yang Via ucapkan itu benar.
"Apa kamu butuh cuti beberapa hari lagi?" tanya Rafael langsung. Jujur itu membuatku merasa tak enak hati.
"Nggak, Pak. Saya nggak lagi butuh cuti. Apa pekerjaan saya salah lagi. Biar saya revisi lagi, Pak."
Aku hendak mengambil berkas yang Rafael pegang. Namun, lelaki itu malah menjauhkannya.
"Sebelum konsentrasimu kembali, pekerjaan ini tidak akan pernah beres. Pembukuanmu tidak pernah aku lihat sekacau ini."
"Aku minta maaf, Pak." Aku menunduk. Ini sudah menunjukkan ketidakprofesionalanku dalam bekerja.
Rafael bangkit dari kursinya. Dia memutari meja dan berdiri menjulang di hadapanku. Aku tidak berani mengangkat wajah. Emosiku tidak stabil, aku bisa menangis. Itu tidak akan aku biarkan terjadi.
"Apa seberat itu rasanya?" tanyanya membuatku sedikit bingung.
Aku sama sekali tidak merasa berat. Pembukuan adalah pekerjaanku beberapa tahun ini. Dan itu hal yang sangat biasa untukku. Bahkan kadang sampai membuatku bosan.
"Maaf, Pak. Saya akan mengecek dari awal lagi."
"Bukan itu maksud saya, Kalila."
Bukan? Lalu?
"Apa seberat itu rasanya berpisah darinya?"
Sekarang aku tahu maksud yang sebenarnya.
"Sa-saya—"
"Sebenarnya aku sudah tahu sih. Aku bisa melihatnya. Aku tak masalah, Kalila."
Iyah. Jika aku di posisinya, mungkin akan sangat marah mendapati pekerjaan bawahannya yang tidak becus. Tapi tidak dengan Rafael. Dia seolah memaklumi apa yang terjadi. Mungkin karena aku dekat dengannya. Atau, dia memang tidak bisa marah karena merasa ikut menjadi penyebab kandasnya hubunganku dengan Wishnu?
"Tapi yang aku sangat kecewa adalah, kamu menghindariku, Kalila. Kamu tahu, itu membuatku merasa sangat bersalah dengan semua yang telah terjadi. Dan dari situ aku jadi mengerti, kalau kamu mencintainya lebih daripada yang aku tahu."
Kalimat terakhirnya membuatku mengangkat wajah. Rafael, dia mengira aku seperti itu? Ya Tuhan, aku bukan hanya melukai Wishnu, tapi Rafael juga. Pikiran itu sama sekali tidak terlintas di benakku.
Aku memang menyesal telah berbuat jahat pada Wishnu. Tapi penyesalanku ini bukan karena patah hati diputus pacar. Melainkan lebih menyesal dan merasa sangat bersalah karena sudah menyakiti lelaki sebaik Wishnu. Kekacauanku saat ini tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa dalamnya perasaanku terhadap Wishnu. Rafael salah kalau berpikir begitu.
"Ra-Rafael itu nggak seperti yang kamu pikir."
Akhirnya aku membabat sikap profesionalku di lingkungan kerja saat berhadapan dengan Rafael. Ini sudah bukan pekerjaan lagi yang dibahas. Tapi sudah menuju ranah pribadi.
"Apa aku salah? Yang aku lihat adalah seorang wanita yang tidak bisa bekerja dengan baik karena galau diputus pacarnya."
"Nggak seperti itu."
Rafael menatapku tanpa berkedip. Kedua tangannya tenggelam di balik saku celananya.
"Aku ... Bukan ini ... maksudku bukan dengan cara seperti ini ... Aku bener-bener merasa bersalah sama dia. Aku bukan cuma berkhianat. Aku sudah seperti orang yang nggak tahu diri dan—"
Mengucapkannya terlalu sesak. Suaraku terasa nyangkut di tenggorokan. Sebelum air mataku tumpah, Rafael sudah terlebih dulu menarikku dalam pelukannya. Dan membiarkanku tergugu di sana.
Kurasakan tangannya menepuk pelan punggungku. Aku benar-benar tidak tahu malu. Menangis seperti ini di kantornya karena putus cinta. Aku harap Rafael tidak akan tersinggung karena aku menangisi orang lain. Rasa bersalah ini terlalu menyesakkan.
***
Setelah membiarkan tangisku reda, Rafael mendudukkan aku di sofa. Dia juga memberiku air minum. Mengusap sisa-sisa air mata yang masih ada di pipiku."Apa sudah merasa baikan sekarang?"
Aku mengangguk.
"Kalila, dengar. Kalau ada hal yang membuatmu sesak jangan simpan sendiri. Kalau kamu memang nggak mau cerita sama aku, kamu bisa cerita dengan Ersa. Tingkahmu belakangan ini cukup mengganggu pikiranku."
"Aku minta maaf, aku nggak bermaksud menghindarimu. Hanya saja tiap melihatmu mengingatkan betapa bodohnya aku."
"Bodoh karena sudah mencintaiku?"
"Rafael, kamu tahu bukan itu maksudku."
"Semua sudah terjadi. Apa yang perlu disesali? Berdoa saja dia mendapat pengganti yang lebih baik."
"Iya kamu benar. Aku memang nggak baik untuk dia."
"Tapi baik untukku. Kalila, ingat. Masih ada aku."
Rafael menjepit daguku, mengarahkannya agar aku menatapnya. "Kamu nggak lupa kan? Kalau di sini ada aku?"
"Rafael, aku...."
"Aku mencintaimu, aku harap kamu selalu ingat."
Mataku berkedip sekali. Jika aku tidak baik untuk Wishnu, mungkinkah aku akan baik untuk Rafael juga? Aku merasa ragu pada diri sendiri sekarang. Bagaimana mungkin Rafael bisa mempercayai seorang pengkhianat sepertiku?
Aku masih berkelana dengan pikiranku, saat bibirku merasakan sentuhan bibirnya. Seketika itu juga mataku melebar. Apa yang Rafael lakukan? Ini di kantor kalau ada orang me—
"Pak! Lapo—, oh maaf."
Brakkk!
Kontan aku mendorong dada Rafael menjauh. Astaga! Kekhawatiranku belum sempat aku ucapkan semua, malah sudah kepergok begini. Tapi anehnya, Rafael merasa tenang-tenang saja. Itu tadi suara ... Farhan kan? Duh!
_________________
Hayoloh, Kalila! Kepergok kan, wkwkwk
Yuk ramaikan, Gaes. Jangan diem-diem bae.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...