Aku terpaku dan memejamkan mata saat tangan itu kembali tak sengaja menyentuh kulit tengkukku. Apa yang sebenarnya sedang Rafael lakukan? Tangannya bergerak memutar rambutku lalu menggelungnya, kemudian dia menjepit rambutku dengan sebuah jepitan yang aku tidak tahu dapat dari mana. Detak jantungku masih terus bertalu. Rasanya benar-benar luar biasa. Diam-diam aku meraba dada, berharap dengan itu detakan yang menggila ini segera sirna."Nah, begini saja lumayan tidak mengganggu pekerjaanmu," katanya kemudian.
"Se-sebenarnya apa yang sedang Bapak lakukan?" tanyaku tidak bisa menyembunyikan kegugupan.
"Saya hanya menggelung rambut kamu dan menjepitnya. Karena saya rasa kamu terganggu dengan rambut itu."
Tanganku beranjak memegangi hasil karya Rafael pada rambutku.
"Bapak punya jepit rambut?" Mataku melebar.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan. Itu kemarin saya sengaja beli. Saat melihat jepit rambut itu, saya teringat rambut kamu yang panjang. Jadi, ya saya beli itu untuk kamu." Rafael berbicara sembari mengusap-ngusap hidungnya yang bangir. Dia seperti orang salah tingkah.
Panas. Aku bisa merasakan pipiku menghangat. Ya Tuhan semoga Rafael tidak menyadari itu. Aku menarik napas panjang beberapa kali sampai tidak menyadari Rafael yang sudah berada di kursi kebesarannya kembali. Dia menatapku lekat. Sedikit memiringkan kepalanya membuatku salah tingkah.
"Bapak kenapa?" tanyaku ragu.
"Kamu yang kenapa. Itu kenapa dari tadi menarik napas panjang, muka kamu juga merah. Apa AC di sini kurang dingin?"
Sial. Rasanya aku ingin tenggelam ke dasar bumi saat ini juga. Bagaimana aku bisa bekerja dengan tangan gemetar seperti ini?
"Pak?"
"Iya?"
"Gimana kalau saya mengerjakan ini di meja kerja saya saja?"
"Kenapa? Jadi, di sini benar-benar gerah ya?" tanya Rafael dengan tatapan polos.
"Tidak, Pak, hanya saja ...."
"Ya sudah, kamu lanjutkan saja pekerjaan itu. Tidak masalah di sini saja, 'kan?"
Jantungku yang bermasalah. Masa iya aku harus bilang seperti itu? Terpaksa aku harus bertahan sebentar. Semoga saja Rafael tidak bertingkah aneh-aneh lagi. Aku menatap sekilas manusia tampan itu. Sepertinya dia kembali tenggelam dengan pekerjaannya. Baguslah, aku bisa melanjutkan pekerjaan dengan nyaman.
"Menurutmu, apa yang penting dari suatu pernikahan?"
Seketika aku menghentikan kegiatan mencoret kertas di tangan. Sekarang apa lagi? Aku mendongak dan mendapati Rafael tengah menatapku. Pertanyaannya bagiku terdengar aneh.
"Kenapa Bapak tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanyaku heran.
"Saya hanya ingin tahu pendapatmu saja."
Pelan aku mengetuk-ngetuk bolpoin ke atas meja. Pertanyaan itu apa perlu aku jawab? Itu di luar kontek pekerjaan.
"Itu, saya bingung jawabnya, Pak."
"Loh, kenapa? Memangnya kamu tidak ada rencana untuk menikah?"
Aku hampir saja keselek ludah sendiri. Sebenarnya Rafael ingin tahu soal apa, sih? Aku berdeham sejenak. Aku rasa Rafael memang butuh jawabanku. Baiklah, kalau itu bisa membuat dirinya anteng dan tidak bertanya aneh-aneh lagi.
"Kalau menurut saya sih, yang paling penting dalam pernikahan itu ya cinta, Pak."
"Oh ya? Jaman sekarang masih ada wanita yang berpikiran seperti itu?" tanya Rafael lagi. Dia seolah menyanggah apa yang aku kemukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...