PART 44

2.2K 239 109
                                    

Yang belum Follow akun ini, kuy follow dulu teman-teman, biar bisa selalu update cerita aku.

Jangan lupa tap 🌟 sebelum baca yah, Happy Reading! 😉

_______________

Suara gaduh. Samar-samar aku mendengar suara gaduh. Namun, mataku yang terpejam enggan terbuka. Rasanya sangat berat. Bukan hanya itu, kepalaku juga sama beratnya. Dingin menyergap hampir ke seluruh permukaan kulitku. Sebenarnya aku sakit apa? Kenapa badanku rasanya tidak karuan?

Aku tidak berdaya. Bukannya membaik, konsidiku sepertinya malah makin memburuk. Tanganku meraba nakas, aku kehausan, tenggorokanku rasanya kering. Namun, belum sempat tanganku menggapai minuman, gelas itu malah terjatuh dan menimbulkan bunyi nyaring, dan  membuat pintu kamar langsung terbuka.

Mbok Marimar tergopoh-gopoh menghampiriku. "Astagfirullahaladzim, Mbak Lila!" Si Mbok histeris. "Mbak Lila haus?"

Aku hanya mengangguk lemah. Pandanganku rasanya gelap. Seolah ada sesuatu yang menutupinya di sana. Sampai si Mbok membantuku minum pun rasanya aku masih lemas.

"Kepalaku sakit," lirihku.

"Badan Mbak Lila panas byanget. Haduuuh, saya harus menghubungi siapa? Ah! Mbak Ersa!"

Aku sudah tidak peduli lagi apa yang si Mbok lakukan, mataku terasa berat kembali dan kemudian terpejam.

***

Ketika terbangun, aku merasakan aura yang berbeda di dalam kamar. Meskipun kepalaku masih berat, tetapi aku merasa agak baikan. Tunggu, ini di mana? Kenapa interiornya berbeda dengan kamarku? Baunya juga bukan ciri khas ruang pribadiku.

Aku baru tahu keberadaanku saat mataku menubruk selang infus yang tertanam di sebelah tangan kiriku. Ini ruang rumah sakit ternyata. Siapa yang melarikan aku ke sini? Mbok Marimar jelas tidak mungkin. Aku bahkan tidak sadar saat dilarikan ke sini.

Aku spontan menoleh ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Rafael menyembul dari baliknya. Aku sedikit terkejut melihatnya. Apa dia yang membawaku?

"Kalila, kamu sudah sadar?" tanya Rafael mendekati ranjang tempatku berbaring.

Hanya Rafael? Yang lain mana?

"Kamu yang membawaku ke sini?" tanyaku pelan.

"Iya, dibantu Ersa dan Mbok Marimar." Rafael beranjak mendekatiku.

"Lalu, di mana mereka?"

"Mereka sedang mencari makan sepertinya. Dari siang tadi belum ada yang sempat makan."

Benarkah?

"Maaf, ya, merepotkan."

Rafael mengecek suhu badanku dengan punggung tangannya. "Tidak ada yang direpotkan. Panas kamu belum turun." Lalu dia duduk di kursi samping ranjang. Tangannya menggenggam sebelah tanganku.

"Aku tadi panik dan langsung membawamu ke sini. Kamu tidur, tapi pingsan. Waktu aku bangunin nggak bangun-bangun," katanya sarat dengan nada khawatir.

"Iya, kah? Nanti juga baikan. Kamu nggak usah khawatir. Harusnya nggak perlu dibawa ke rumah sakit kayak gini. Aku biasanya sembuh kalau Mas Wishnu sudah memeriksa dan ...."

Aku menghentikan kalimatku. Ada yang salah. Tidak seharusnya aku membicarakan Wishnu saat bersama Rafael. Duh, aku kelepasan. Bagaimana kalau Rafael tersinggung?
Aku menelan ludah, Rafael menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa aku artikan. Ya Tuhan, bodohnya aku.

"Maaf, Rafael aku—"

"Aku bukan dokter seperti dia, Kalila. Aku tidak bisa memerikasa atau memberi resep. Jadi, apa tindakanku sebagai orang yang tidak mengerti dunia medis itu salah?" tanya Rafael kemudian. Nadanya tenang, tetapi aku yang mendengarnya mendadak gusar.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang