“Gue nggak bisa membantah lagi, Ersa,” kilahku membela diri saat Ersa menyalahkanku karena mau diajak Rafael jalan.“Ya lo bisa kan cari alasan yang masuk akal gitu.”
“Rafael nggak nerima penolakan.”
Mata Ersa memicing seolah tidak yakin dengan apa yang aku bilang barusan.
“Ya ampun, Ersa. Lagi pula gue di sana nggak ngapa-ngapain hanya nemenin dia doang.”
Ersa memegangi kepalanya. “Gue nggak tau deh kalau sampe Wishnu atau tante lo denger.”
“Mereka nggak akan tau kalau mulut lo nggak ember.” Aku dengan santai memasukkan sepotong kue ke dalam mulut. Ersa menggeleng lalu dia menoyor kepalaku pelan.
“Lo kurang waras.”
Aku mendesah. “Sebenarnya gue juga takut, sih. Seumur-umur gue belum pernah clubbing. Tapi gue ke sana nggak buat itu. Gue Cuma duduk manis nemenin Rafael doang. Gue janji.” Aku mengangkat kedua jari membentuk huruf V.
Ersa menggeleng. “Serah lo deh, Lil. Gue nggak ngerti apa yang ada di otak lo, terlebih hati lo.”
“Ayolah, Sa. Cuma lo yang paling ngerti gue.” Aku mencebik.
“Jam berapa dia jemput?”
“Jam sepuluh.”
Kali ini aku mungkin agak berani karena menerima ajakan laki-laki untuk datang ke kelab. Salahkan pembuat acara saja. Kenapa harus ngadain perayaan di sana? Tapi mungkin pesta orang kaya itu memang beda.
Pukul setengah sepuluh Rafael muncul di kafe Ersa. Dia seperti biasa terlihat rapi dan menarik. Kali ini dia mengenakan kaos dipadu dengan blazer yang kancingnya sengaja dia buka. Celana jin serta sneaker membungkus kakinya.
Apa pun gayanya, penampilan Rafael selalu terlihat menawan di mataku.Plak!
Bisa-bisanya aku memujinya seperti itu. Aku harus selalu ingat bahwa Wishnu juga memiliki tampang yang tak kalah keren.
Ersa akhirnya membiarkanku pergi dengan Rafael. Rautnya masih terlihat tidak bersahabat saat aku keluar dari ruangannya. Dia terus mewanti-wanti agar aku tidak meminum minuman yang berbau alkohol biar pun kadarnya hanya sedikit. Dia menyarankanku nanti untuk minum jus saja.
“Apa tidak apa-apa saya nggak nemuin Ersa dulu?” tanya Rafael begitu kami memasuki mobilnya.
“Ersa sedang sibuk, Pak. Biasanya kalau dia sibuk tidak mau diganggu.”
“Baiklah kita berangkat sekarang saja.” Rafael mulai menyalakan mesin mobil.
Dalam perjalanan, aku terus diam. Sesekali mengalihkan perhatian agar tidak tegang dengan memainkan ponsel, berselancar di dunia maya. Karena aku tidak tahu harus memulai dari mana jika harus bercakap dengan Rafael.
Rafael juga terlihat fokus menyetir, sama sekali tidak berniat untuk melakukan percakapan hingga mobil memasuki parkir sebuah kelab ibu kota. Aku tertegun di tempat saat Rafael memintaku keluar. Sebelumnya, aku tidak pernah masuk ke tempat seperti ini . Baiklah, aku memang kuno sekali. Wanita 27 tahun yang hampir menghabiskan seluruh hidupnya di kota metropolitan, tapi menginjak dance floor saja tidak pernah.
“Kok diam?” Rafael membungkuk dari luar jendela mobil.
Aku masih bergeming. Pandanganku mulai gelisah. Jika aku meminta Rafael untuk pulang kembali apa dia mau?
”Pak, saya belum pernah ke tempat ini sebelumnya,” ucapku khawatir.
Dan apa yang aku pikirkan? Di dalam sudah pasti ada orang Eaglefood yang hadir, tidak hanya aku dan Rafael. Bagaimana seandainya setelah ini akan ada berita yang tidak enak terdengar?
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...